Kampus

 [Jurnal] Kebenaran Ilmu Sejarah Peradaban Islam

KEBENARAN ILMU SEJARAH PERADABAN ISLAM

Ditulis oleh:

Avicenna Al Maududdy, M.Hum

Magister Sejarah Peradaban Islam

Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga

 

  1. Latar Belakang

Seringkali terlintas dalam pikiran bahwa ilmu pengetahuan yang empirik adalah satu-satunya cara bangsa atau negara dapat mencapai suatu peradaban yang kokoh. Tetapi apakah anggapan itu sepenuhnya benar. Mungkinkah suatu peradaban dibangun atas sesuatu yang non empirik seperti didalam agama Islam?

Islam merupakan salah satu keyakinan beragama yang berasal dari Allah SWT. Sumber utamanya adalah Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang disampaikan kepada umat manusia untuk diyakini dan dan diikuti.  Keyakinan tersebut yang nantinya menjadi pedoman dan meciptakan kenyataan berperilaku umat Islam di berbagai aspek kebudayaan. Kebudayaan-kebudayaan tersebut kemudian terharmonisasi antara satu dengan yang lainnya hingga mebentuk menjadi suatu peradaban di masa tertentu. Proses tersebutlah yang dinamakan sebagai Sejarah Peradaban Islam. Dalam artikel ini penulisan Sejarah Peradaban Islam akan disingkat menjadi SPI. [1]

  1. Rumusan Masalah
  2. Bagaimana yang di maksudkan Sejarah Peradaban Islam?
  3. Bagaiamana obyektivitas dan subyektivitas dalam Sejarah Peradaban Islam?

 

BAB I

PENGERTIAN SEJARAH PERADABAN ISLAM (SPI)

  1. Pengertian SPI

Jika sejarah secara umum adalah sebuah kisah dan peristiwa masa lalu umat manusia. Sejarah Peradaban Islam bisa dikatakan sebagai sejarah yang secara khusus membahas mengenai peristiwa umat Islam di masa lampau. Kata sejarah yang berasal dari bahasa arab yaitu “syajarah” atau “pohon” disebutkan beberapa kali di dalam Al-Qur’an, berkaitan dengan perubahan yang identitik dengan gerak. Syajarah juga menunjukkan gambaran keberhasilan yang telah dicapai sebagaimana yang dialami oleh Nabi Musa as. Sebaliknya, kata ini juga digunakan untuk membicarakan kegagalan Nabi Yunus as dengan istilah ‘pohon labu’. Kata ini juga digunakan dalam kata “syajaratun zaqqum” atau “sajarah mubarakah”.

Hal ini tentunya agaknya masih belum dapat digunakan untuk mencari makna sejarah yang berhubungan dengan masa lalu. Istilah lain yang berhubungan dengan sejarah dalam tradisi Islam adalah tarikh, qashash, hikayah sisilah, dan riwayah. Kata syajarah setidaknya lebih dekat kepada penngertian silsilah yang mempunyai makna daftar asal usul, ranji keturunan, yang digambarkan seperti pohon dengan cabang dan rantingnya[2]. Sejalan dengan itu,  bahwa sejarah Islam identitik dengan pohon yaitu ibarat memiliki cabang dan ranting, bermula dari sebuah bibit, kemudian tumbuh dan berkembang, lalu layu dan tumbang, dan tumbuh kembali melalui pola yang sama. Demikian pula peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sejarah peradaban Islam yang mengalami masa pertumbuhan, perkembangan, lalu kemunduran dan dapat bangkit kembali[3].

Sejarah Peradaban Islam merupakan suatu kemajuan kebudayaan yang dicapai meliputi aspek bahasa, kesenian, ilmu pengetahuan, sosial, politik, hukum, dan agama umat Islam di masa tertentu. Dalam prosesnya peradaban berjalan secara berangsur-angsur dalam kurun waktu yang lama dimasa tertentu. Menurut Malek bennabi yang menjadikan peradaban sebagai teori filsafatnya, mengatakan jika peradaban bukan hanya kumpulan kebudayaan yang menumpuk, tetapi juga bagaimana kebudayaan-kebudayaan itu memiliki hubungan dan sistem yang harmonis antara satu dengan yang lain sesuai dengan fungsi-fungsi tertentu dan dimasa tertentu[4]. Jadi sejarah peradaban Islam adalah suatu kisah dan peristiwa umat Islam yang mengalami proses kemajuan kebudayaan-kebudayaan yang saling terharmonisasi dimasa atau periode tertentu.

  1. Sejarah dalam al-Qur’an

Menurut Misri A. Muchsin (2002)[5], Islam menaruh perhatian yang besar terhadap sejarah. Hal ini bisa terlihat dalam sumber utama agama Islam yaitu al-Qur’an yang telah memberi suatu hukum pada sejarah. Seperti dalam pernyataanya yang dikutip dari berbagai ayat al-Qur’an  dibawah ini;

Sungguh telah berlalu aturan-aturan Allah sebelum kamu. Maka mengembaralah di muka bumi, dan lihatlah bagaimana akhir orang-orang yang mendustakan, ini adalah penjelasan bagi manusia, petunjuk, dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” (Q.S. 3: 137-138).  Ayat yang lain, “Tiadakah mereka berjalan di muka bumi, dan melihat apa jadinya orang-orang sebelum mereka?..”.(Q.S. 30: 9).

Hukum sejarah dalam al-Qur’an bersifat konstan atau tetap seperti dalam ayat berikut: “(Itulah) hukum Allah yang berlaku pula terhadap orang-orang terdahulu. Dan tiadalah kamu mendapatkan perubahan dalam hukum Allah”. (Q.S. 33: 62). Ayat yang lain, “Maka apakah yang mereka nantikan selain sunnah yang telah berlaku bagi orang-orang terdahulu. Dan tidak sekali-sekali akan kamu dapati pergantian dalam sunnah Allah”. (Q.S. Al Fathir: 43).

Bersamaan dengan itu, Tuhan juga memberikan kebebasan dan kemerdekaan bagi manusia untuk mengembangkan potensi dasar yang diberikannya kepada manusia, “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri berusaha dengan sungguh-sungguh untuk merubah diri mereka sendiri”. (Q.S. Ar Ra’du: 11). Pada arti ini kebebasan manusia hanyalah tetap sebagai hamba yang tetap tidak bisa lepas dari pengawasan Allah.

Lebih lanjut, mekanisme sejarah dalam Al-Qur’an mendorong agar manusia selalu bersikap positif atau seperti dalam  surah Al-Mulk ayat 2 bahwa tidaklah Allah menciptakan kehidupan dan kematian bagi manusia kecuali agar manusia berlomba-lomba dalam amal kebaikan. Pun demikian Al-Qur’an menjadikan manusia sebagai khalifah yang mempunyai misi mulia yaitu mengamannkan, mendamaikan, dan melestarikan alam di kehidupan ini.

Ayat-ayat diatas sekiranya bisa dijadikan acuan dan landasan dalam filsafat sejarah Islam yaitu yang bersifat determinisme. Termasuk pula SPI yang menjadi bagian dari sejarah dunia Islam yang bersifat universal. Ibnu Khaldun berpendapat bahwasannya sejarah adalah suatu siklus dari setiap kebudayaan dan peradaban. Sementara fazlurrahman berpendapat jika sejarah peradaban pada dasarnya terdiri dari suatu proses pembentukan dan pelurusan masyarakat menurut norma-norma tertentu, yang bersifat moralistik, sumbernya bersifat transdental, tetapi penerapan sepenuhnya berada dalam eksitesi manusia secara kolektif. Norma-norma tersebut adalah sunnatullah (hukum bagi perihal keamanusiaan yang tidak berubah).

  1. Periodesasi SPI

Pola gerak sejarah menciptakan suatu periodesasi dalam sejarah, terkhususnya pula dalam Sejarah Peradaban Islam. Terdapat perbedaan pula oleh sejarawan mengenai penjelasan awal mula hingga akhir dimasing-masing masa peradaban tersebut, seperti Ahmad al-Usairy yang memulai Sejarah Peradaban Islam sejak Nabi Adam a.s.[6] Tetapi secara umum, menurut Abdul Syukur Al Azizi, periodesasi tersebut dibagi menjadi tiga, diantaranya adalah Sejarah peradaban Islam masa klasik, pertengahan, dan modern[7].

  1. Masa klasik (650-1258 M)

Masa ini Islam mengalami kemajuan yaitu sejak zaman Nabi Muhammad SAW, Khulafaurrasyidin, Bani Umayah, dan permulaan Daulah Abbasiyah. Pada masa-masa itulah Islam mengalami perluasan wilayah dari Afrika utara sampai ke Spanyol di belahan Barat dan melalui Persia sampai ke India di belahan Timur. Masa ini juga ditandai dengan adanya kemajuan dalam ilmu pengetahuan baik dalam diberbagai aspek. Dibidang agama seperti fiqh meliputi munculnya ulama-ulama besar imam mahzab, seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam bin Hambal. Dalam bidang teologi terdapat Imam al-Asya’ri, Imam al-Maturidi, Wasil ibn ‘Ata. Dalam bidang filsafat terdapat Al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Miskawaih. Dalam iptek meliputi Ibn Hayyam, al-Khawarizmi, al-Mas’udi dan al-Razi, dan lainnya. Pada masa ini juga terjadi awal disintegrasi umat Islam yang ditandai dengan perpecahan politik dan terkalahkannya Baghdad oleh Hulaghu Khan[8].

  1. Masa Pertengahan (1250-1800 M)

Periode ini meliputi  masa kemunduran dan tiga kerajaan besar. Masa kemunduran disebabkan karena kurangnya perhatian terhadap ilmu pengetahuan, adanya desentralisasi dalam politik Islam, adanya anggapan bahwa pintu ijtihad telag tertutup, serta kekalahan umat Islam di Spanyol. Sementara tiga kerajaan besar tersebut adalah Turki Usmani, Daulah Safawiyah, dan Daulah Mongoliah (Mughal). Tiga kerajaan besar ini mengalami kemajuan ditahun 1500-1700M dan mengalami kemunduran ditahun 1700-1800 M

  1. Masa Modern (1800-sekarang)

Periode ini merupakan kesadaran umat Islam untuk bangkit. Pada periode ini umat Islam melihat peradaban Barat dan berusaha untuk melakukan gerakan pembaharuan Islam (tajdid) sebagai rangka pengembalian kekuatan peradaban Islam.

 

BAB II

OYEKTIVITAS DAN SUBYEKTIVITAS SPI

  1. SPI Sebagai Kajian Islam

Pertanyaan awal yang patut untuk dijadikan pembahasan adalah bagaimanakah posisi  Sejarah Peradaban Islam (SPI) sebagai ilmu? Apakah SPI masuk dalam studi ilmu agama Islam murni atau yang sudah terpengaruh ilmu lainnya. Untuk menjawab pertanyaan itu perlu kiranya membahas terlebih dahulu ruang lingkup kajian keislaman. Mneurut Dr. Abdul Chalik (2015), kajian keislaman dibagi menjadi dua, yaitu agama sebagai doktrin dan agama sebagai scientifik (objek penelitian/ilmiah) [9].

Agama sebagai sebagai doktrin (normatif) adalah agama yang diterima apa adanya, sebagai sebuah keyakinan yang absolut bagi pemeluknya. Ajaran-ajaran agama yang bersifat absolut adalah ajaran yang tidak perlu diperdebatkan secara ilmiah, karena ada ketidakterjangkauan akal fikiran manusia untuk menembus batas yang absolut itu seperti yang meliputi ilmu akidah dan syari’ah (hukum Islam).

Sementara agama sebagai scientifik adalah agama dalam konteks budaya dan sosial, yakni ketika agama menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan berperilaku manusia dalam hal ini adalah perilaku seorang muslim. Islam yang sedemikian inilah yang dinamakan sebagai Islam historis, yakni Islam yang bersinggungan secara langsung dengan kebudayaan masyarakat dan sebagai akibat dari persinggungan itu praktik berislam satu sama lain cukup beragam. Dengan kata lain Islam historis adalah kenyataan dalam perilaku umat Islam dalam menjalankan agamanya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, SPI yang lingkup kajiannya adalah ‘kenyataan perilaku’ umat Islam dimasa lalu maka SPI masuk dalam kategori Islam scientifik dan bagian dari Islam historis yang banyak bersinggungan dengan realitas sosial, politik, ekonomi, budaya, dan yang semacamnya. Oleh karena SPI menjadi bagian scientifik atau kajian agama ilmiah, maka ide pokok berupa cara mendapatkan pengetahuan, memahami, dan menulis adalah dengan metode ilmiah. Metode ilmiah yang dipakai SPI adalah metode sejarah. Menurut Kuntowijoyo (2013) langkah-langkah dalam metode sejarah diantaranya adalah; 1) pemilihan topik, 2) heuristik (pengumpulan sumber, 3) kritik sumber, 4) interpretasi (penafsiran), 5) histioriografi (penulisan sejarah)[10]

Sementara menurut Dudung Abdurrahman (2011) membedakan antara keilmuan sejarah dengan keilmuan keislaman. Kajian sejarah secara karakteristik metodologinya bersifat diakronik dan banyak terpengaruh ilmu-ilmu sosial yang bersifat sinkronik dan struktural. Sementara keilmuan keislaman lebih berkarakteristik normatif yang banyak membahas mengenai ilmu aqidah, syari’ah dan tasawuf. Walaupun begitu kedua pendekatan ini bisa dikombinasikan untuk menganalisis dalam melihat obyek studi menjadi  sebuah studi “sejarah Islam”. Kombinasi tersebut dinamakan dengan integrasi-interkoneksi. Islam sebagai agama mempunyai sumber utama yaitu Al-Qur’an dan Hadits, dari sumber inilah kemudian dikembangkan menjadi pandangan hidup pemeluknya berupa realitas pemikiran,pemahaman, tindakan diberbagai aspek sosial, ekonomi, budaya, politik yang beragam. Oleh karena fenomena tersebut dapat ditinjau dari pendekatan sejarah untuk dijadikan analisis dalam obyek penelitian sejarah Islam termasuk SPI didalamnya[11].

  1. Obyektivitas dan Subyektivitas SPI

Telah diketahui bahwasannya SPI merupakan kajian Islam scientifik yang dapat menggunakan metode sejarah ilmiah pada penelitiannya. Pada dasarnya pengertian sejarah dibagi menjadi dua. Pertama adalah sejarah sebagai peristiwa yaitu sejarah yang totalitas dalam kenyataan dan hanya terjadi sekali tidak dapat diulangi. Sejarah seperti inilah yang bersifat abslut dan objektif. Kedua, terdapat pengertian sejarah sebagai kisah. Sebelumnya, sejarah sebagai peristiwa tidak bisa membicarakan dirinya sendiri. Oleh karena itu, peristiwa lampau itu perlu untuk direkonstruksi dan dijelaskan ulang melalui sebuah narasi atau cerita sejarah. Sejarah dalam penegertian inilah yang bersifat subjektif.

Perlu diketahui bahwasannya tidak ada sejarawan yang bisa melakukan peliputan terhadap totalitas kejadian atau peristiwa masa lalu. Sejarah hanya meninggalkan dokumen atau arsip yang berisi data-data sejarah yang digunakan sejarawan untuk merekontruksi masa lalu. Mungkin saja dokumen tersebut tidak lengkap atau ada kekurangan untuk bisa menjelaskan peristiwa masa lalu dengan keakuratan yang pasti. Sehingga disini tidak mungkin jika sejarah bisa direkontruksi secara 100% benar[12].

Oleh karena itu sejarah sebenarnya lebih dekat kepada pengertian subyektif. Hal ini dikarenakan sejarah yang sampai kepada kita umumnya sudah terbentuk dari rekontruksi, analisis, dan tafsiran dari seorang sejarawan.  Selain itu, subyektivitas sejarah juga bisa dilihat dari konteks sejarah sendiri, yaitu sudut pandang sejarawan, kepentingan sejarawan, ideologi sejarawan dan lain sebagainya. Seperti dalam kutipan Ibn Khuldun yang yang menjabarkan lebih luas jika faktor kelemahan dalam karya historiografi diantaranya adalah; 1) sikap pemihakan sejarawan pada madzhab tertentu, 2) sejarawan terlalu percaya kepada penukil berita sejarah, 3) sejarawan dapat gagal menangkap maksud sumber sejarah dengan persangkaan yang keliru, 4) sejarawan memberikan asumsi yang tidak beralasan terhadap sumber beritas, 5) ketidaktahuan sejarawan dalam mencocokkan keadaan dengan kejadian  yang sebenarnya, 6) kecenderungan sejarawan yang bisa jadi dekat dengan penguasa, 7) sejarawan tidak mengetahui watak berbagai kondisi yang muncul dalam suatu peradaban[13]. Selain faktor ini sebenarnya masih banyak yang dapat mempengaruhi subyektivitas dari penulisan sejarah.

Kuntowijoyo (2013) menyatakan yaitu bahwa setiap kejadian sejarah pada umumnya meninggalkan sumber sejarah baik itu dokumen, arsip, monumen, dll. Sumber tersebut pada dasarnya bersifat empiris yang tercipta dari pengalaman manusia. sumber-sumber itulah yang nanti akan diolah melalui metode ilmiah sejarah[14]. Selain itu sejarah juga mempunyai pendekatan dan teori. Umumnya pendekatan yang digunakan adalah dari pendekatan ilmu-ilmu sosial lainnya. Perlunya pendekatan digunakan untuk mempertajam insight obyek penelitian sejarah sehingga mengurangi subyektivitasnya.[15]

 

Kesimpulan

Sejarah Peradaban Islam (SPI) merupakan salah satu kajian Islam scientifik yang dalam epistemologi (cara mendapatkan pengetahuan) dapat menggunakan metode ilmiah. Disisi lain posisi SPI  sebagai ilmu yang menjadi bagian dari sejarah Islam merupakan kombinasi dari keilmuan sejarah dengan keilmuan keislaman. Masing-masing dari keilmuan itu mempunyai karakteristik tersendiri. Ilmu keislaman bersifat normatif, dari normatif tersebut timbul kenyataan dalam perilaku umat Islam dalam menjalankan agamanya yang berupa realitas pemikiran, pemahaman, tindakan diberbagai aspek sosial, ekonomi, budaya, politik yang beragam. Realitas kebudayan-kebudayaan tersebut kemudian terharmonisasi menjadi suatu peradaban dimasa tertentu (periode klasik, pertengahan, modern, dan kontemporer). Sehingga untuk menelusuri dan menganalisis yang terkandung dalam fenomena-fenomena tersebut diperlukan sebuah keilmuan sejarah dengan menggunakan disiplin metode ilmiah sejarah berupa heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi.

Oleh karena SPI merupakan bagian sejarah secara umum. Pada dasarnya pengertian sejarah dibagi menjadi dua. Sejarah sebaga peristiwa bersifat objektif, dan sejarah sebagai kisah bersifat subyektif. Umumnya sejarah sebenarnya lebih dekat kepada pengertian subyektif dikarenakan terdapat campur tangan dari sejarawan. Untuk mendekatkan sejarah kepada obyektivitas dan mengurangi subyektivitas diperlukan sebuah metode ilmiah kritis dalam sejarah dan mempergunakan pendekatan untuk mempertajam insight objek dalam penelitian sejarah.

 

Daftar Pustaka

Abdurrahman, D. 2011. Metodologi Penelitian Sejarah Islam. Yokyakarta: Ombak.

Azizi, A. 2017. Sejarah Terlengkap Peradaban Islam: Menelusuri Jejak-Jejak Agung Peradaban Islam di Barat dan Timur. Yokyakarta: Noktah.

Chalik, A.  2015. Filsafat Ilmu: Pendekatan Kajian Keislaman. Yokyakarta: Arti Bumi Intaran.

Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yokyakarta: Tiara Wacana.

Muchsin, M.A. 2022. Filsafat Sejarah dalam Islam. Banda Aceh: Khazanah Pustaka Indonesia.

Nasution. S. 2013. Sejarah Peradaban Islam. Riau: Yayasan Pusaka Riau.

Sulaiman, R.  2015. Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Usairy, A. 2004. Sejarah Islam : Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Jakarta: Akbar Media.

Zakariya, D. 2018. Sejarah Peradaban Islam (Prakenabian hingga Islam di Indonesia). Malang: Intrans Publishing.

Fitrotulloh, M.R. 2013. Konstruk Filsafat dan Agama dalam Bingkai Peradaban Islam. Jurnal El Qudwah. UIN Maliki Malang.

 

 

[1] Fitrotulloh, M.R. 2013. Konstruk Filsafat dan Agama dalam Bingkai Peradaban Islam. Jurnal El Qudwah. UIN Maliki Malang. hlm 9-11.

[2] Sulaiman, R.  2015. Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

[3] Zakariya, D. 2018. Sejarah Peradaban Islam (Prakenabian hingga Islam di Indonesia). Malang: Intrans Publishing, hlm 9.

[4] Muchsin, M.A. 2022. Filsafat Sejarah dalam Islam. Banda Aceh: Khazanah Pustaka Indonesia, hlm 88.

[5] Muchsin, op cit, hlm 23-26.

[6] Usairy. A. 2004. Sejarah Islam : Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Jakarta: Akbar Media, hlm 15

[7] Azizi. A. 2017. Sejarah Terlengkap Peradaban Islam: Menelusuri Jejak-Jejak Agung Peradaban Islam di Barat dan Timur. Yokyakarta: Noktah, hlm 14-15.

[8] Nasution. S. 2013. Sejarah Peradaban Islam. Riau: Yayasan Pusaka Riau, hlm 5-6.

[9] Chalik. A.  2015. Filsafat Ilmu: Pendekatan Kajian Keislaman. Yokyakarta: Arti Bumi Intaran, hlm 63-73.

[10] Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yokyakarta: Tiara Wacana, hlm 70-80.

[11] Abdurrahman, D. 2011. Metodologi Penelitian Sejarah Islam. Yokyakarta: Ombak, hlm 49-54.

[12] Sulaiman, R. op cit, hlm 43

[13] Abdurrahman, D. op cit, hlm 4-6

[14] Kuntowijoyo. op cit, hlm 46-48

[15] Abdurrahman, D. op cit, hlm 9-10

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button