Seorang ibu berada ditengah-tengah manyat dengan tangan diikat pada saat konflik di Aceh. (foto: Google) |
Pagi itu, penghujung 2003, langit terlihat sangat cerah. Aku bersiap-siap berangkat menuju sekolahku, MIN Blang Guron, jaraknya sekitar 900 meter dari rumahku. Biasanya, aku menuju ke sekolah dengan berjalan kaki. Pada saat itu umurku menanjak 8 tahun, aku masih duduk dibangku kelas tiga pada sekolah yang terletak di Desa Cot Teubee, Kecamatan Gandapura, Bireuen itu.
Setiap pagi, ibuku selalu menyiapkan sarapan untukku, selain itu, ibuku juga merapikan pakaianku, sedangkan bapakku memberikan uang jajan kepadaku. Semua itu masih kukenang sampai saat ini. Semoga, kedua orang tua ku dalam keadaan baik-baik saja dan dalam lindungan Allah swt. Aminnn…
Pada saat itu, daerahku sedang dibalut konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Republik Indonesia. Khusus di kampungku, setiap pagi, tidak kurang dari 50 tentara bersenjata lengkap lalu lalang melewati depan rumahku. Mereka sedang melakukan patroli untuk memastikan kondisi keamanan disana.
“Ada lihat GAM?,” tanya salah seorang anggota TNI kepada bapakku, hal tersebut masih terekam jelas di pikiranku sampai saat ini.
Spontan saja, bapakku menjawabnya “Tidak”. Meskipun ada melihanya, sudah menjadi keharusan bagi masyarakat kampung kami untuk menutupi dan menjaga pahlawan-pahlawan (GAM) tersebut dalam berjuang memperoleh keadilan.
Pada saat itu, masyarakat kampungku rata-rata memiliki pekerjaan sebagai petani, pekebun dan ada beberapa yang bekerja sebagai guru dan PNS. Sebelum pergi kerja, sudah menjadi kebiasaan, mereka terlebih dahulu untuk menyempatkan diri singgah di kedai kopi untuk meneguk secangkir kopi sebagai pelepas rindu sembari menjaga tali silaturrahmi sesama masyarakat disana.
Tak terlepas dari itu, ditengah asiknya meneguk secangkir kopi, mereka kerap sekali dikejutkan dengan operasi yang dilakukan secara dadakan oleh aparat TNI dan Brimob yang bertugas di kawasan itu.
Pemeriksaan pun dilakukan, aparat yang langsung didatangkan oleh pemerintah RI itu melakukan pemeriksaan mulai dari menanyakan KTP merah putih (KTP khusus Aceh pada saat darurat militer) hingga menyuruh menyanyikan lagu Indonesia Raya. Jika mereka tidak puas sesuai permintaannya, maka tidak sedikit pula terkena bogem, tendang dan kekerasan lainnya.
Namun, semua itu sekarang sudah menjadi kenangan, sejarah yang tidak mudah untuk dilupakan. Sebagian dari mereka (korban konflik) sudah tidak ada lagi, mereka sudah kembali kepada sang Maha Pencipta. Semoga, mereka diberi tempat yang layak di alam sana, Aminnn..
15 tahun sudah masyarakat Aceh hidup dalam suasana damai, penandatangan MoU Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah RI merupakan salah satu kabar baik untuk bangsa ini. Namun, sampai saat ini, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada masa konflik belum mamu diselesaikan.
Pemerintah Aceh melalui legislatif sudah melakukan upaya-upaya dalam mengungkapkan pelanggaran di Aceh salah satunya dengan membentuk KKR, lembaga ini diharapkan dapat menjadi fasilisator dalam mengungkap pelanggaran di Aceh pada masa konflik dulu.
Namun, tak jarang pula, banyak yang menilai, KKR itu tidak akan mampu menuntaskan pengungkapan pelanggaran di Aceh. Karena, pelanggaran di Aceh sudah tidak bisa dihitung lagi dengan kedua jari tangan dan kedua jari kaki.
Meskipun demikian, usaha dan doa harus selalu kita panjatkan. Semoga, dengan dukungan semua pihak, KKR mampu melaksanakan tugasnya dengan baik dan mendapatkan hasil yang memuaskan. Sehingga, luka yang sangat perih dirasakan masyarakat Aceh puluhan tahun silam setidaknya dapat terjawab dengan terbentuk KKR ini.[]
Banda Aceh, 29 Oktober 2016