NewsPariwisataSejarah

Kadisbudpar Aceh Ajak Masyarakat Galakkan Aksi Meuseuraya

Banda Aceh – Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, Perhubungan Kodam Iskandar (Hubdam IM), Polresta Banda Aceh, dan unsur pemerintahan setempat melakukan aksi meuseuraya (gotong royong) di makam ulama Syekh Ismail al-Asyi, Desa Empee Trieng, Kecamatan Darul Kamal, Aceh Besar, Jumat (3/2/2023).

Aksi meuseuraya yang dihadiri ratusan warga ini dipimpin Kahubdam IM Kolonel CHB Jun H Mastra, Kadisbudpar Aceh Almuniza Kamal dan Kapolresta Banda Aceh Kombes Pol Fahmi Irwan Ramli.

Berdasarkan keterangan masyarakat setempat, Kolonel Jun menyebutkan Syekh Ismail al-Asyi bin Abdul Muthallib al-Asyi atau dikenal dengan sebutan Tgk Chik Empee Trieng merupakan pengarang/penghimpun Kitab Lapan.

“Beliau diyakini masyarakat setempat sebagai pengarang Kitab Lapan (delapan), yang sampai sekarang masih digunakan di beberapa pondok pesantren dan mungkin luar negeri,” ujar pria yang gemar menelusuri sejarah makam/nisan kuno bernilai cagar budaya tersebut.

Oleh karena itu, Jun mengatakan aksi meuseuraya makam ulama, raja dan tokoh terdahulu yang dilakukan sabab Jumat secara kolaborasi dengan unsur pemerintahan dan masyarakat tersebut sangat penting bagi kesejahteraan Aceh.

“Di sinilah tampak peradaban Islam berkembang luas di Aceh dan mencapai titik yang sangat tinggi. (Di antaranya) jika dilihat dari kaligrafi-kaligrafi yang ada di nisan-nisan, mungkin kalau negara-negara lain tahu bahwa kaligrafi sudah berkembang begitu luas di Aceh, maka negara-negara lain akan datang (ke Aceh) untuk melihat kaligrafi tersebut,” sebutnya.

Sementara itu, Kadisbudpar Aceh berharap aksi meuseuraya makam ini dapat berkembang lebih banyak dan menjadi kebiasaan masyarakat Aceh.

“Saya harap kegiatan bersih-bersih makam dan ziarah kubur ini menjadi kebiasaan kita selaku warga Aceh dan kaum muslimin. Membersihkan makam atau meuseuraya ini harus kita galakkan, kami tunggu teman-teman lainnya,” ucapnya.

Menurut Almuniza, kisah para ulama yang telah mengharumkan nama Aceh terdahulu perlu dirangkum dalam buku agar tidak hilang tergerus zaman.

“Mendengar cerita kejayaan atau kehebatan para ulama terdahulu, maka kita perlu menulis kisah-kisah ini dalam sebuah cerita buku dan semua ceritanya bukan fiksi, tapi nyata adanya,” sebutnya.

Almuniza juga menyebutkan, akan mengajak pihak Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Aceh untuk berkolaborasi menyusun buku (kisah) seluruh ulama-ulama Aceh.

“Insyaallah, dalam waktu dekat saya akan mengumpulkan tim untuk menyusun buku yang menceritakan kisah beliau (Tgk Chik Empee Trieng). Kita juga akan terus menggali data informasi mengenai history ulama yang telah dimakamkan, seperti asal usul keluarga beliau dan kisah perjalanan beliau, mudah-mudahan dapat segera kita lakukan,” pungkasnya.

Sejarah Singkat Syekh Ismail al-Asyi

Syekh Ismail al-Asyi dikenal sebagai ulama dan penghimpun Kitab Lapan (Kitab Delapan) atau judul asli kitabnya Jam’u Jawami’ al-Mushannafat. Kitab ini masih digunakan di seluruh lembaga pendidikan tradisional di Aceh dan beberapa lembaga agama di nusantara. Kitab Lapan merupakan kumpulan delapan karangan karya ulama Aceh yang membahas tauhid, tasawuf dan etika.

Syekh Ismail juga disebut sebagai penghimpun dan editor Kitab Tajul Muluk (Tajul Mulok) yang di dalamnya juga rangkuman beberapa karya ulama Aceh.

Berdasarkan keterangan M Ridha Ramli (keturunan Syekh Ismail al-Asyi), beliau kembali (dari Mesir) ke Aceh dan berjuang bersama ulama dan pejuang melawan Belanda. Periode tersebut disesuaikan dengan kepemimpinan ulama Aceh seperti Tgk Chik Di Tiro dan Tgk Chik Abbas Kutakarang.

Syekh Ismail meninggal dan dimakamkan di Gampong Empee Trieng, Mukim Biluy, Kecamatan Darul Kamal, Aceh Besar. Oleh karena itu beliau dikenal Tgk Chik Empee Trieng, sebuah gelar yang dinisbah kepada daerah setempat yang umum digunakan oleh banyak para alim ulama tempo dulu dan zaman sekarang.

Perjuangan Tgk Chik Empee Trieng dikenal luas oleh masyarakat pesisir Barat, terutama daerah Lamno sampai dengan Sampoinet, Aceh Jaya. Setelah perjuangan sekitar 30 tahun, beliau kembali ke Empee Trieng untuk melanjutkan Dayah Rangkang Manyang dan menata kembali Masjid Tuha Indrapuri dan dayahnya.

Sekitar tahun 1927, Tgk Chik Empee Trieng sakit dan berpulang ke Rahmatullah. Beliau dikebumikan di Gampong Empe Trieng. Sedangkan Dayah Indrapuri terus berkembang dan menorehkan sejarah pada zamannya. []

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button