
“Setelah bencana itu, saya sempat down, stres, selama delapan bulan saya berbicara sendiri.”
Alta Zaini, Keuchik Lampulo.
Banda Aceh – Gempa dan tsunami Aceh 2004 tidak hanya menghancurkan rumah-rumah dan bangunan, tetapi juga merobek-robek kehidupan masyarakat Gampong Lampulo, sebuah desa di pesisir Kota Banda Aceh.
Kehilangan begitu banyak nyawa, termasuk keluarga terdekat, dan kerusakan yang meluas membuat desa yang berada di Kecamatan Kuta Alam ini hampir runtuh.
Keuchik Gampong Lampulo, Alta Zaini mengenang betul bagaimana dirinya jatuh ke titik terendah setelah bencana dahsyat itu.
“Setelah bencana itu, saya sempat down, stres, selama delapan bulan saya berbicara sendiri,” kata Alta Zaini saat ditemui sudutberita.id, beberapa waktu lalu.
Gempa berkekuatan 9.3 skala richter (SR) disusul tsunami yang meluluhlantakkan segalanya telah merenggut istri dan seorang anak Alta Zaini. Saat itu, hidupnya terasa hampa, dan kesedihan menyelimutinya begitu dalam.
Tapi, dalam keputusasaan itu, datang sebuah titik terang. Seorang teman memberinya buku motivasi, dan meskipun awalnya skeptis, Alta mulai membaca.
“Saya mencoba baca buku tersebut, untuk apa bersedih, ternyata ada orang yang lebih susah dan hancur daripada saya. Dari situ saya berusaha bangkit,” ceritanya.
Proses pemulihan Alta bukanlah hal yang mudah, tetapi langkah demi langkah, dia perlahan menemukan kembali semangat hidupnya. Pada 2005, ia terpilih menjadi kepala dusun dan tiga tahun setelahnya, ia dipercaya menjadi kepala desa.
Kepemimpinannya tidak hanya menyembuhkan luka-luka fisik desa, tetapi juga membawa perubahan besar, termasuk penghargaan sebagai kepala desa terbaik se-Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, Gampong Lampulo yang dulu hancur, kini mulai pulih. Dengan bantuan berbagai lembaga internasional, seperti Care Internasional dan BRR, desa ini tidak hanya membangun kembali rumah dan fasilitas, tetapi juga membangun semangat baru.
Sebuah monumen penting, sebuah kapal yang terdampar di atas rumah, kini menjadi simbol kebangkitan dan objek wisata yang menggerakkan perekonomian lokal.
“Kami tidak hanya kembali ke kehidupan semula, tetapi juga menciptakan peluang baru, seperti produk ikan kayu kemasan dan dendeng ikan teri,” tutur Alta.
Pelatihan yang diberikan oleh NGO juga membantu masyarakat untuk lebih mandiri dalam bidang ketahanan pangan, dengan program budidaya ikan lele menggunakan teknologi bioflok.
Di tengah kesibukan itu, para pemuda Gampong Lampulo juga aktif dalam berbagai kegiatan, termasuk klub sepak bola lokal yang meraih prestasi.
Setiap malam, balai pengajian menjadi tempat berkumpul untuk mendalami ilmu agama, sebagai bentuk rasa syukur dan kesadaran bahwa hidup harus dijalani dengan penuh makna.
Namun, meskipun desa ini kini telah bangkit, Alta tidak melupakan pelajaran besar yang dia dapatkan dari bencana tersebut.
“Saya diberikan kesempatan untuk hidup kedua kali, untuk memperbaiki diri, untuk memberikan yang terbaik bagi agama dan masyarakat,” ucap Alta Zaini.
Di bawah kepemimpinannya, Gampong Lampulo terus berusaha memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana, dengan mengadakan pelatihan kebencanaan dan membangun infrastruktur yang dapat membantu masyarakat dalam situasi darurat.
Salah satunya adalah tower peringatan tsunami yang akan berbunyi saat air laut mulai naik, yang aktif setiap tanggal 26 Desember, memperingati tragedi besar tersebut.
Dengan segala perubahan yang telah terjadi, Alta Zaini menyadari bahwa setiap langkah menuju pemulihan adalah bentuk penghormatan terhadap para korban yang telah tiada.
Dari bencana besar itu, ia belajar bahwa meskipun hidup penuh dengan ujian, selalu ada kesempatan untuk bangkit dan memberikan yang terbaik.
“Kita harus belajar dari pengalaman negara lain, seperti Jepang. Sistem peringatan dan kewaspadaan mereka sangat efektif. Saya berharap kita bisa mendapat pelatihan dari mereka, agar kesiapsiagaan kita semakin matang,” pungkasnya. []