Kampus

[Jurnal] Historiografi Islam Pertengahan

HISTORIOGRAFI ISLAM PERTENGAHAN

Penulisan sejarah Ibnu Khaldun dan karyanya Al-‘Ibar

 Oleh:

AVICENNA AL MAUDUDDY

Program Magister Sejarah Peradaban Islam

Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

PENDAHULUAN

Dalam karya Sejarawan Islam jika diteliti terdapat corak penulisan yang berbeda. Menurut Badri Yatim terdapat tiga corak penulisan dalam karya-karya Sejarawan Islam, yaitu corak khabar, corak hawliyat (kronologi berdasarkan tahun), dan corak mawdhuiyat (tematik).[1] Para Sejarawan Islam menggunakan metode dalam menuliskan karya-karyanya. Di dalam buku Badri Yatim, Effat al-Sharqawi berpedapat bahwa perkembangan metode penulisan sejarah dalam Islam dibagi menjadi dua : pertama historiografi dengan riwayat dan historiografi dengan dirayat. Penulisan sejarah ini terus mengalami perubahan-perubahan disetiap masanya, mulai dari masa klasik, abad pertengahan, hingga masa sekarang. Itu artinya cara penulisannya ini berbeda disetiap masanya. Hal ini tidak terlepas dari jejak zaman yang ikut mempengaruhi pola pemikiran sejarawan pada masa itu. Tetapi pada dasarnya historiografi Islam berkembang mengikuti perkembangan peradaban Islam.

Pada Era Pertengahan, terjadi beberapa pembaruan dalam corak historiografi Islam. Hal ini tak terlepas dengan keadaan agama ini yang semakin diterima oleh penganut lain, corak pemikiran para historiografi sudah mampu menyerap berbagai kearifan lokal di wilayah setempat, sehingga dapat keluar dengan pendekatan-pendekatan yang baru pada zamannya. Di Era Pertengahan muncul berbagai peristiwa besar yang ikut serta merubah tatanan dan segi sosial umat Islam. Kurun waktu yang semakin terpisah jauh dari era kenabian membuat tafsir akan kepemimpinan dunia Islam menjadi beragam. Posisi khalifah bukan hanya hidup pada otoritas sosio-keagamaan, namun juga mulai bergeser ke ranah politik. Semakin tersebarnya umat Islam ikut pula menggerakkan bahtera peradaban ke masa-masa keemasan. Dalam Historiografi abad pertengahan melahirkan sejarawan terkemuka, diantaranya: Ibnu Batutah, Al-Fajiri, As-Salmani, Ibn Kahldun dan  beberapa lain-lainnya.

Ibnu Khaldun adalah sejarawan yang melakukan perubahan dalam penulisan sejarah dengan melakukan analisis mendalam tentang peristiwa sejarah.[2] Dengan demikian, Ibnu khaldun telah memberikan kontribusi dalam bidang historiografi. Untuk lebih sistematis, tulisan ini akan menguraikan pembahasan tentang biografi Ibnu Khaldun dan kontribusinya dalam historiografi Islam. Adapun rumusuan masalah atau pembahasan yang akan penulisan yang akan penulis ulas terkait dengan :

  1. Biografi dan karya Ibnu Khaldun?
  2. Metode Penulisan Sejarah Menurut Ibnu Khaldun?

METODELOGI

            Jenis penelitian bersifat Historiografi sejarah yang merujuk kedalam beberapa buku dan referensi untuk mengoptimalkan metodelogi dalam penulisan dan juga melakukan beberapa pendekatan. Metodelogi dalam penulisan ini menggunakan metodelogi sejarah dalam menganalisis fakta-fakta yang terkait dengan metode penulisan sejarah yang dilakukan oleh Ibnu Khaldun pada abad pertengahan. Secara khusus artikel ini membahas tentang biografi singkat Ibnu Khaldun, karya dan metode penulisan sejarah dengan beberapa sejarawan lainnya. Dalam penulisan ini juga digunakan beberapa sumber primer dan sekunder untuk mendukung hasil dalam penulisan.

 

PENULISAN SEJARAH IBNU KHALDUN DAN KARYANYA AL ‘IBAR

  1. Biografi Ibnu Khaldun

Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Abdurrahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Abdurrahman ibn Khalid ibn Usman ibn Hani ibn al-Khattab ibn Kuraib ibn Ma’dikarib ibn Harish ibn Al-Wail ibn Hujr. Ia lahir di Tunisia pada 27 Mei 1332 M dan wafat pada 25 Ramadhan 808 H/ 19 Maret 1406 M. Semasa kecilnya ia biasa di panggil dengan Abdurrahman. Gelar yang di sandangnya ialah Waliudin. Dan nama populernya adalah Ibnu Khaldun yang besar dengan nama Bani Khaldun.[3]

Keluarganya berasal dari Hadramaut dan silsilahnya sampai kepada seorang sahabat Nabi yang bernama Wayl ibn Hujr dari kabilah Kindah. Salah seorang cucu Wayl, Khalid ibn ‘Utsman, memasuki Andalusia bersama orang-orang Arab penakluk di awal abad ke-3 H/ 9 M. Anak cucu Khalid membentuk satu keluarga besar dengan nama Bani Khaldun. Bani Khaldun ini pertama kali berkembang di kota Qarmunah di Andalusia. Di kota inilah mereka bertempat tinggal sebelum hijrah ke kota Seville. Di kota ini, anggota keluarga Bani Khaldun mulai menduduki jabatan penting. Namun, ketika dinasti Al-Muwahhidun mengalami kemunduran di Andalusia dan kekuasaannya jatuh ke penguasa Kristen, Bani Hafs pun penguasa Seville hijrah ke Tunisia. Begitu juga dengan Bani Khaldun. Di sana Abu Bakar Muhammad (kakek kedua Ibnu Khaldun) diangkat sebagai Gubernur Tunisia sedangkan anaknya, Muhammad ibn Abi Bakar yaitu kakek pertama Ibnu Khaldun, diangkat sebagai menteri kehakiman.

Berbeda dengan leluhur-leluhurnya, ayah Ibnu Khaldun, Abu Abdillah Muhammad lebih tertarik kepada dunia Ilmu dan pendidikan. Ia terkenal ahli dalam bidang Al-Qur’an, ilmu hukum Islam, dan sastra Arab. Tidaklah mengherankan jika kelak Ibnu Khaldun, sebagai anaknya, mewarisi kegemarannya terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan. Guru pertama Ibnu Khaldun adalah ayahnya sendiri. Ia belajar membaca dan menghafal Al-Qur’an dan fasih dalam Qirā’āt sab’ah (tujuh cara membaca Al-Qur’an). Ia juga memperlihatkan perhatian yang seimbang antara mata pelajaran tafsir, hadist, fiqh, dan gramatika bahasa Arab dari sejumlah guru yang terkenal di Tunisia.[4]

Ketika Ibnu Khaldun berumur delapan belas tahun, terjadi dua peristiwa penting yang menyebabkannya berhenti belajar. Pertama, berkecamuknya wabah kolera (pes) tahun 747 H/ 1345 M di bagian besar belahan dunia bagian timur dan bagian barat, yang meliputi negara-negara Islam dari Samarkand hingga Maghribi, Italia, dan sebagian besar negara-negara Eropa dan Andalusia. Wabah kolera ini menimbulkan banyak korban jiwa. Di antaranya adalah ayah dan ibu Ibnu Khaldun dan sebagian besar guru yang pernah mengajarnya.  Kedua, setelah terjadinya malapetaka tersebut, banyak ilmuwan dan budayawan yang selamat dari wabah itu pada tahun 750 H/ 1348 M berbondong-bondong meninggalkan Tunisia dan berpindah ke Afrika Barat Laut. Dengan terjadinya dua peristiwa ini jalan pemikiran Ibnu Khaldun berubah. Ia terpaksa berhenti belajar dan mengalihkan perhatiannya pada upaya mendapatkan tempat dalam pemerintahan dan peran dalam percaturan politik di wilayah itu.[5]

Hari-harinya diisi untuk mengarang sebuah karya, yaitu al-‘Ibar. Kitab ini berisi kajian sejarah, yang didahului oleh sebuah pembahasan tentang masalah-masalah sosial manusia yang dikenal dengan nama Muqaddimah Ibnu Khaldun dan sekaligus merupakan jilid pertama dari kitab al-‘Ibar. Setelah menyelesaikan karyanya, Ibnu Khaldun kemudian merevisi dan melengkapinya. Untuk kepentingan itu, ia berkeinginan kembali ke Tunisia pada tahun 780 H/ 1378 M. Tidak lama keluarganya pun menyusul ke sana. Setelah karyanya selesai di revisi, maka naskah asli karya tersebut diserahkan kepada Sultan Abu Abbas tahun 784 H/ 1382 M sebagai hadiah untuk melengkapi perpustakaannya. Ibnu Khaldun tinggal di Tunisia selama kurang lebih empat tahun 780-784 H/ 1378-1382 M.

  1. Karya Ibnu Khaldun

Al-‘Ibar merupakan karya Ibnu Khadun yang berkenan dengan sejarah. Nama lengkap kitab ini adalah Kitab al-‘Ibar wa Dīwān alMubtada’ wa al-Khabar fi Ayyām al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa man ‘Asarahum min Dhawi al-Sultān al-Akbar. Kitab al-‘Ibar dibagi menjadi tiga buku besar. Buku bagian pertama terdiri dari pendahuluan dan kitab jilid pertama atau yang terkenal dengan sebutan Muqaddimah. Adapun isi Muqaddimah adalah sebagai berikut. Pertama, iftitāh. Pada bagian ini ia menulis tentang pujian kepada Allah, shalawat dan salam atas Rasulullah, dan menyebut ahli-ahli sejarah yang hidup sebelumnya. Selain itu, ia juga menyebut sebab kesalahan dalam kajian: kurang teliti dalam mengkaji dan mengambil kesimpulan peristiwa-peristiwa sejarah. Ia juga menerangkan alasan-alasan tentang kitab al-‘Ibar. Bagian ini ditutup dengan informasi tentang penyerahan kitab al-‘Ibar kepada sultan Abu Abbas yaitu, naskah pertama yang ditulis pertama kali, dan naskah yang direvisi di Mesir kepada Abu Faris Abdullah ‘Aziz. Kedua, bagian ini diberi judul pendahuluan tentang keutamaan sejarah, verifikasi aliran-alirannya dan pembahasan sekilas tentang kesalahan-kesalahan dan keraguankeraguan yang timbul dalam kajian ahli-ahli sejarah serta sebabsebabnya. Ketiga, judul dari bagian ini adalah kitab pertama yang membahas tentang tabi’at manusia, yang mencakup bangsa badui, orang-orang berbudaya, mata pencaharian, penghidupan, produksi, dan ilmu. [6]

Bagian ini menjadi bagian pokok dari Muqaddimah.  Isi bagian ketiga dari buku pertama al-‘Ibar terdiri dari: kata pengantar, tempat Ibnu Khaldun menerangkan tentang sejarah, tema dan objek pembahasan, sebab-sebab terjadinya kekeliruan dalam menulis peristiwa sejarah. Bagian ini juga berisi enam pembahasan pokok dan utama yang mempelajari fenomena-fenomena masyarakat, yaitu antara lain:

  1. Tentang peradaban umat manusia secara umum, corak dan pembagiannya menurut ilmu bumi.
  2. Tentang peradaban padang pasir (masyarakat pengembara), kabilah, dan bangsa pengembara.
  3. Tentang negara-negara, khalifah, kekuasaan raja, dan tingkatan perintah.
  4. Tentang peradaban orang-orang yang menetap, kota-kota, dan provinsi-provinsi.
  5. Tentang keahlian, mata pencaharian, dan usaha hidup dengan segala aspeknya.
  6. Tentang ilmu pengetahuan dan cara memperoleh dan mempelajarinya.

Buku bagian kedua terdiri dari empat jilid, yaitu dari jilid dua sampai jilid lima sedangkan kitab bagian ketiga terdiri dari dua jilid, yaitu jilid enam dan tujuh. Bagian kedua kitab al-’Ibar yaitu jilid dua sampai jilid lima berisi tentang permulaan penciptaan alam dan genealogi berbagai bangsa dengan mendasarkan pada kisah-kisah yang dinukil dari Perjanjian Lama dan Herodotus. Selanjutnya, diuraikan pula sejarah bangsa Arab pada zaman Jahiliah, bangsa Yahudi, Yunani, dan Persia. Buku kedua dari al-’Ibar ini sebagian besar berisi tentang asal mula agama Islam, kehidupan Rasulullah, para Khulafā’ al-Rāshidūn, Bani Ummayah, Bani Abbasiyah, Islam hingga permulaan tegaknya Dinasti Bani al-Ahmar di Granada, dinasti Islam di Sisilia, negara-negara Kristen di Spanyol, sejarah Dinasti Bani Buwaih, Kaum Saljuk, Perang Salib, dan dinasti-dinasti Mamluk di Mesir. Buku Bagian ketiga kitab al-‘Ibar terdiri dari jilid enam dan tujuh yang berisi tentang sejarah Afrika Utara. Pada bagian ini Ibnu Khaldun memulai karyanya dengan menulis sejarah kaum Barbar dan suku-sukunya yang termasyhur, seperti suku Zanantah, suku Nawatah, suku Mashmudah, dan suku Baranis sejak zaman purba sampai keemasannya, seperti Dinasti Bani Hafsh, Dinasti Bani Abd al-Wad, dan Dinasti Bani Marin.

  1. Metode Penulisan Sejarah menurut Ibnu Khaldun dalam Karya al- ‘Ibar

Karya al-‘Ibar ini berbeda dengan karya sejarah umumnya pada masa itu. Pembahasan dalam karya ini objektif sehingga tulisan sejarahnya terhindar dari berita-berita yang mengandung mitologi dan khayal serta didukung oleh observasi langsung terhadap suatu peristiwa sejarah. Sebagai seorang sejarawan abad pertengahan, Ibnu Khadun telah membaca karya-karya sejarawan sebelumnya yang selalu dipenuhi berita-berita yang tidak objektif. Oleh karena itu, ia kemudian mengkritik penulisan sejarah mereka, misalnya berita tentang: keadaan Harun al-Rasyid yang dikatakan suka minum khamr dan sering bermabuk-mabukan dalam pesta dengan pembesar-pembesar istana.

Menurut Ibnu Khaldun, berita-berita ini tidak benar karena Harun Al Rasyid adalah seorang khalifah yang tekun dalam menjalankan kewajiban-kewajiban agama dan adil dalam menjalankan tugasnya. Sebagai seorang yang taat dalam menjalankan perintah agama, Harun Al Rasyid mustahil melakukan perbuatan yang dilarang oleh agamanya. Selanjutnya, Ibnu Khaldun mengkritik sejarawan al-Mas’udi, yang menuturkan bahwa Iskandar Agung didatangi oleh binatangbinatang laut sewaktu ia membangun kota Iskandaria. Untuk menanggulangi gangguan binatang ini, Iskandar membuat peti kayu, tempat peti kaca diletakkan. Iskandar lalu masuk ke dalam peti kaca itu dan menyelam ke dasar laut. Saat berada di dalam laut, ia menggambar binatang-binatang itu yang kemudian lari ketakutan sehingga ia dapat menyelesaikan pembangunan kota itu dengan selamat. Sejarah ini, menurut Ibnu Khaldun tidak benar, karena seorang yang menyelam air, meskipun di dalam kotak, tidak akan dapat bernafas secara alami. Seorang yang menyelam dalam sekali tanpa membawa alat-alat selam akan kehilangan udara dingin yang dibutuhkannya menurut ukuran paru-paru normal. Dengan begitu, orang itu akan mati di tempat. Oleh karena itu, berita ini adalah berita mustahil.

Pemberitaan seperti di atas pada umumnya terdapat pada karya-karya sebelum Ibnu Khaldun. Hal ini terjadi karena mereka hanya menerima berita tanpa melakukan penyelidikan secara kritis sehingga berita tersebut secara pelan-pelan masuk ke tulisan sejarah mereka. Akibatnya, historiografi menjadi tidak berarti dan orang-orang yang mempelajarinya menjadi bingung. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun menyebutkan sebab-sebab kesalahan yang sering dilakukan oleh sejarawan dalam menuliskan sejarah sebagai berikut.

  1. Kesalahan pertama, adanya semangat memihak atau bias (partisanship) kepada pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab tertentu.
  2. Kesalahan kedua, kepercayaan yang berlebihan kepada penutur sejarah, padahal penuturan berita baru dapat diterima setelah melakukan proses ta’dīl dan tarjīh} (kritik terhadap keadilan dan ketercelaan penutur berita).
  3. Kesalahan ketiga, sejarah tidak mampu memahami maksud yang sebenarnya dari apa yang didengar dan dilihat, dan penyampaian laporan hanya berdasarkan pada dugaan atau prasangka.
  4. Kesalahan keempat, adanya asumsi yang tidak berdasar terhadap kebenaran berita. Pada umumnya hal ini sering terjadi karena terlalu memutlakkan “kebenaran” suatu berita.
  5. Kesalahan kelima, sejarawan tidak dapat menempatkan secara tepat suatu kejadian dalam hubungannya dengan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya karena kabur dan rumitnya keadaan.
  6. Kesalahan keenam, keinginan untuk mengambil hati orang yang berkedudukan tinggi dengan cara memuji, menyiarkan ke masyarakat, membujuk, menganggap baik semua perbuatan mereka, dan memberi tafsiran yang selalu menguntungkan mereka.
  7. Kesalahan ketujuh, tidak mengetahui hukum-hukum watak dan perubahan masyarakat manusia. [7]

Ibnu Khaldun kemudian berupaya untuk menghindari kesalahan dalam penulisan sejarah sehingga ia menyatakan bahwa ada beberapa syarat agar tulisan seorang sejarawan itu diterima oleh pembaca, yaitu antara lain sebagai berikut.

  1. Pertama, sejarawan hendaknya mengetahui prinsip-prinsip politik, perbedaan bangsabangsa, tempat-tempat dan periode-periode dalam hubungannya dengan sistem kehidupan, nilai-nilai akhlak, kebiasaan, sekte-sekte, mazhab-mazhab dan segala ihwal lainnya.
  2. Kedua, sejarawan harus mengetahui kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan masa lalu dan masa kini dan harus mengetahui sebab timbulnya kesamaan dalam beberapa situasi serta sebab timbulnya perbedaan dalam situasi lainnya.
  3. Ketiga, sejarawan harus mengetahui keadaan dan sejarah orang-orang yang mendukung suatu peristiwa.

Sasarannya ialah untuk melengkapi tentang sebab terjadinya setiap peristiwa dan mengenal asal usul suatu peristiwa. Selanjutnya, ia harus meneliti sebuah berita yang dinukilnya dalam prinsip-prinsip dasar yang telah ia ketahui. Apabila memenuhi syarat, maka berita itu benar; dan apabila tidak, maka berita itu harus ditolak. Berkenaan dengan sejarah ini, dapat dikatakan bahwa menurut Ibnu Khaldun, penulisan sejarah seharusnya merupakan hal yang faktual dan bebas dari dongeng-dongeng yang berbau tahayul dan khurafat. Ia mampu menuliskan peristiwa secara apa adanya sehingga menjadi suatu yang objektif. Pada penulisan sejarahnya, ia berusaha untuk tidak melebih-lebihkan pihak yang disukainya atau merendahkan musuh-musuhnya.

Upaya Ibnu Khaldun untuk menulis sebuah karya sejarah yang baik terus dilakukan. Ia kemudian menulis sejarah dengan menggunakan ilmu bantu, yaitu ilmu al-‘Umran, yang berasal dari bahasa Arab dan berarti didiami, kegiatan hidup yang sibuk, kemakmuran yang berkembang, peradaban, dan pembangunan. Menurut Ibnu Khaldun, sosiologi merupakan ilmu yang membahas tentang asal usul masyarakat dan mengamati hal-hal yang menyebabkan terjadinya peradaban dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, bila dikaitkan dengan sejarah, ilmu ini penting bagi penulisan sejarah. Tanpa ilmu ini, historiografi tidak akan dapat menggambarkan kehidupan manusia secara lebih utuh, jelas, dan intelligible. Studi sejarah yang dilakukan oleh Ibnu Khaldun yang berkenaan dengan peristiwa sosiologi di antaranya berkaitan dengan masalah politik, yaitu tentang solidaritas sosial (‘asabiyah).

Mengenai sejarah Arab, Ibnu Khaldun menulisnya pada bagian kedua kitab al-‘Ibar. Analisis historis ini berdasar pada sumber sejarah yang diperolehnya melalui observasi dan telaah atas sumber-sumber yang belum pernah dibaca oleh sejarawan Arab. Adapun bagian ketiga kitab al-‘Ibar merupakan hasil observasinya ketika ia mengambara dan hidup di tengah-tengah bangsa Barbar. Pada bagian ketiga ini Ibnu Khaldun menulis sejarah bangsa ini tanpa menggunakan sumber tertulis karena ia terlibat langsung dengan kehidupan bangsa yang sedang ditelitinya. Kajian sejarah yang ditulis oleh Ibnu Khaldun mendekati penulisan sejarah yang bermutu

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode Ibnu Khaldun dalam menulis sejarah adalah metode historiografi dirāyah. Metode historiografi dirāyah adalah metode penulisan yang mementingkan kebenaran suatu sejarah sehingga sejarah yang ditulis terebut harus melalui kritik intelektual dan rasional serta didukung oleh observasi langsung terhadap peristiwa yang diteliti. Dengan metode ini Ibnu Khaldun kemudian menulis sejarah secara sistematis. Ia menulis sejarah setiap negara dan dinasti secara teliti sejak permulaan hingga akhir sehingga peristiwanya lebih mudah dipahami. Ia mengurutkan objek pembahasannya, mencari kaitan antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, mengatur dalam bab-bab, memberi judul, dan menyusun daftar isi.

Ibnu Khaldun adalah seorang sejarawan abad pertengahan yang telah melakukan banyak perubahan dalam penulisan sejarah. Seperti yang diketahui bahwa sebelumnya, masa Ibn Khaldun sejarah hanyalah berupa cerita-cerita fiktif belaka. Ibn Khaldun berupaya untuk merekonstruksi dari segi penulisan sejarah agar lebih kritis. Kemudian ia juga mengkritik terhadap sejarawan untuk meluruskan sejarah yang telah ditulis oleh mereka. [8]

  1. KESIMPULAN

Menurut Ibn Khaldun setiap fenomena sosial tunduk pada hukum perkembangan, bahkan perkembangan dalam fenomena-fenomena sosial lebih gamblang timbang dalam fenomena-fenomena alam, serta segala sesuatu dalam masyarakat manusia selalu berubah. Perkembangan  menurut  Ibn  Khaldun  tidaklah  berupa  lingkaran  dan garis lurus, melainkan berbentuk spiral. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode Ibn Khaldun dalam menuliskan sejarah menggunakan metode historiografi dirayah. Metode historiografi dirayah adalah metode penulisan yang mementingkan kebenaran suatu sejarah sehingga sejarah yang ditulis tersebut harus melalui kritik intelektual dan rasional serta didukung oleh observasi langsung terhadap peristiwa yang diteliti.

Ibnu Khladun adalah seseorang sejarawan pada abad pertengahan yang telah melakukan beberapa perubahan dalam penulisan sejarah. Ibnu Khaldun berupaya untuk membersihkan sejarah dari beberapa faktor. Kemudian ia melakukan beberapa kritikan terhadap sejarawan untuk meluruskan sejarah yang telah ditulis oleh mereka. Baginya sejarah adalah ilmu berdasarkan kenyataan, menurutnya tujuan sejarah ialah agar manusia sadar akan perubahan-perubahan masyarakat sebagai usaha penyempurnaan kehidupan.

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Mukti Ali, Ibnu Khaldun dan Asal Usul Sosiologi (Yogyakarta: Yayasan Nida), tahun 1997.

Badri Yatim, Historiografi Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Biyanto, Teori Siklus Peradaban: Perspektif Ibnu Khaldun (Surabaya: Lpam), tahun 2004.

Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu khaldun, terj. Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus), tahun 2003

Munawwir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press),  tahun 1995.

Osman Raliby, Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat dan Negara (Jakarta: Bulan Bintang), tahun 1978.

Tim, Ensiklopedi Islam (Depag: Jakarta), tahun 1993.

 

[1]  Badri Yatim, Historiografi Islam, hal 191

[2]  Tim, Ensiklopedi Islam (Depag: Jakarta), tahun 1993, hal. 387

[3]  A. Mukti Ali, Ibnu Khaldun dan Asal Usul Sosiologi (Yogyakarta: Yayasan Nida), tahun 1997, hal 13

[4] Munawwir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press),  tahun 1995, hal 90

[5]  Osman Raliby, Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat dan Negara (Jakarta: Bulan Bintang),  tahun 1978, hal 25.

[6]  Biyanto, Teori Siklus Peradaban: Perspektif Ibnu Khaldun (Surabaya: Lpam), tahun 2004, hal 38.

[7]  Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu khaldun, terj. Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus), tahun 2003, hal 1-11.

[8]   Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu khaldun, terj. Ahmadie Thoha, hal 207-210

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button