
Banda Aceh – Dua bangunan tua yang terletak di tengah hutan belantara Pulau Rubiah kini menjadi saksi bisu sejarah perhajian Indonesia.
Bangunan utama yang besar dan sebuah bangunan kecil yang terletak berdekatan, dulunya merupakan pusat karantina bagi jemaah haji Nusantara yang berangkat ke Makkah.
Dibangun pada tahun 1920 pada masa penjajahan Belanda, kedua bangunan ini kini tampak terabaikan dengan atap yang sudah sebagian rusak dan banyaknya daun kering yang berserakan di lantai.
Bangunan utama yang lebih besar memiliki beberapa ruang, sedangkan bangunan kecil di bagian belakang dilengkapi dengan toilet.
Keadaan bangunan yang kurang terawat sangat terlihat dengan banyaknya pintu dan jendela yang sudah tidak ada, serta plafon yang rusak.
Di depan bangunan, sebuah prasasti berisi sejarah pembangunan dan fungsi gedung ini dibangun untuk memberi informasi kepada pengunjung.
Kedua bangunan tersebut dulunya digunakan sebagai tempat persinggahan terakhir jemaah haji yang hendak berangkat atau pulang dari Makkah.
Lokasi bangunan tersebut di Pulau Rubiah, sekitar 200 meter dari Iboih, Sabang. Untuk mencapai situs ini, pengunjung harus berjalan kaki sejauh 100 meter setelah turun dari boat yang menyeberang dari Iboih.
Salah satu pemerhati sejarah di Sabang, Albina, yang mendampingi rombongan wisatawan dalam kunjungan ke situs ini menjelaskan, bangunan ini memiliki sejarah panjang.
Pada masa penjajahan Belanda, gedung ini berfungsi sebagai tempat karantina jemaah haji Aceh yang berangkat ke Makkah dengan kapal laut melalui pelabuhan Sabang.
Sebelum keberangkatan, jemaah menjalani masa karantina selama 1-2 bulan, termasuk manasik haji dan pemeriksaan kesehatan.
“Gedung karantina haji ini telah berdiri sejak tahun 1920 semasa penjajahan Belanda. Sebelum jamaah haji yang berangkat ke tanah suci Mekkah menggunakan pesawat udara, jamaah calon haji dari Aceh berangkat ke Mekkah dengan kapal laut melalui pelabuhan laut Sabang,” kata dia beberapa waktu lalu.
Setelah Indonesia merdeka, kata Albina, gedung ini tidak lagi digunakan, namun proses pemberangkatan jemaah haji tetap berlangsung dari Sabang hingga tahun 1970-an.
“Kita berharap agar ada perhatian dari semua pihak terkait agar melestarikan situs bersejarah di pulau Rubiah, sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu pusat informasi sejarah haji di Indonesia, konon lagi pulau Rubiah sering dikunjungi wisatawan,” ujar Albina.

Menurut Teuku Yahya, seorang keturunan pemilik sebagian besar tanah di Pulau Rubiah, gedung karantina haji ini pernah berdiri di lebih dari setengah luas pulau yang mencapai 26 hektare.
Fasilitas di gedung ini termasuk rumah sakit dan layanan laundry bagi jemaah. Proses keberangkatan dilakukan setelah jemaah menjalani karantina dan kegiatan keagamaan.
Kapal besar dari Jeddah tidak bersandar di Pulau Rubiah, sehingga jemaah harus dilansir menggunakan kapal kecil ke kapal besar yang menunggu di perairan Sabang.
Teuku Yahya juga menceritakan bahwa pada masa pemulangan, jemaah haji yang baru tiba tidak diperbolehkan langsung pulang ke kampung halaman mereka.
Mereka harus menjalani karantina kembali selama sekitar satu bulan, menjalani pemeriksaan kesehatan dan pencucian pakaian di laundry sebelum dijemput untuk kembali ke daerah masing-masing.
Sayangnya, banyak bangunan yang dulu ada di Pulau Rubiah kini telah hilang, hanya menyisakan pondasi yang tertutup semak belukar.
Albina berharap agar situs bersejarah ini mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah dan pihak terkait, sehingga dapat dilestarikan sebagai pusat informasi sejarah haji Indonesia, mengingat banyaknya wisatawan yang mengunjungi Pulau Rubiah.
“Dengan kondisi yang semakin memprihatinkan, pelestarian bangunan-bangunan bersejarah ini menjadi penting untuk menjaga warisan sejarah perhajian Indonesia yang telah ada sejak zaman kolonial Belanda,” pungkasnya. [ADV]