KhazanahNews

Alue Puasa: Simbol Sejarah dan Perjuangan

*Tgk. Teuku Avicenna Al Maududdy, M. Hum

PADA 10 Agustus 1977, Teungku Hasan Di Tiro menuliskan sebuah refleksi tentang Alue Puasa, nama sebuah mata air yang diberikan oleh para leluhur mereka. Nama ini secara kebetulan menjadi semakin relevan karena saat mereka pindah ke lokasi tersebut, bulan Ramadhan baru saja dimulai.

Dalam beberapa hari setelah kepindahan itu, komunikasi mereka dengan wilayah pedesaan mulai pulih. Jarak perjalanan ke berbagai daerah pun dapat ditempuh dalam waktu yang relatif singkat: Geumpang di Tenggara (dua hari berjalan kaki), Tangsé di Selatan (satu hari), Blang Malo di Barat Daya (satu hari), serta Tiro di Barat Laut, Truséb di Utara, dan Blang Mand di Timur Laut yang masing-masing dapat dicapai dalam satu hari perjalanan.

Di Aceh, berbuka puasa dengan buah kurma merupakan tradisi yang sudah lama berlangsung. Hasan Di Tiro mengenang betapa ia sangat merindukan kurma untuk berbuka saat pertama kali berada di lokasi tersebut.

Keinginannya itu kemudian terwujud dalam bentuk kejutan yang mengharukan—sebuah kotak besar berisi kurma impor yang dikirim oleh Geutjhik Din, seorang kepala desa dari Truséb. Dengan penuh penghormatan, pria tua itu menyampaikan bahwa seorang pemimpin seperti Teungku tidak boleh kekurangan kurma saat berbuka. Sikap ini sangat membekas di hati Hasan Di Tiro.

Ketulusan dan dedikasi Geutjhik Din tidak berhenti di situ. Setelah ia wafat beberapa bulan kemudian, ia meninggalkan surat wasiat yang menyatakan bahwa tanahnya akan disumbangkan kepada dana perjuangan NLF (National Liberation Front) sebagai bentuk dukungan bagi kemerdekaan Aceh. Ia juga berpesan kepada keturunannya agar tetap setia mengikuti perjuangan Hasan Di Tiro hingga akhir.

Dalam catatannya, Hasan Di Tiro menuliskan bahwa sosok seperti Geutjhik Din adalah bagian dari generasi tua Aceh yang penuh pengorbanan dan kesetiaan. Ia bahkan menegaskan bahwa generasi semacam itu mungkin tidak akan muncul kembali kecuali Aceh benar-benar mencapai kemerdekaan. (Sumber: The Price Of Freedom: The Unfinished Diary of Teungku Hasan Di Tiro, 1984, 10 Agustus 1977, halaman 83.)

Catatan harian ini mencerminkan dua aspek utama: tradisi dan perjuangan. Tradisi dalam bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai Islam, seperti menjaga kebiasaan berbuka dengan kurma dan gotong royong sesama warga.

Sementara itu, perjuangan terlihat dalam dedikasi penuh Geutjhik Din yang rela mewakafkan tanahnya demi membiayai pergerakan kemerdekaan. Dalam konteks yang lebih luas, catatan ini juga menggambarkan nilai-nilai kepemimpinan, solidaritas, serta semangat pengorbanan yang menjadi ciri khas masyarakat Aceh kala itu.

Dalam perspektif sejarah, narasi ini menunjukkan bagaimana perjuangan Aceh tidak hanya didasarkan pada kekuatan militer semata, tetapi juga didukung oleh aspek sosial dan budaya yang kuat. Loyalitas terhadap pemimpin dan pengorbanan demi cita-cita bersama menjadi pilar utama dalam perjuangan Aceh.

Melalui kisah ini, kita dapat merefleksikan bagaimana semangat kebersamaan dan pengorbanan di masa lalu dapat menjadi inspirasi bagi generasi saat ini dalam membangun Aceh yang lebih baik. []

*Penulis merupakan Dosen Tetap Prodi Pengembangan Masyarakat Islam di Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Al-Aziziyah Indonesia, Samalanga (UNISAI)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button