Banda Aceh – Dari jarak kurang lebih 15 meter, Nur Habibah tampak tersenyum. Tangan kanannya memegang sapu lidi, sementara tangan kiri alat penarik sampah. Lalu, ia berjalan di sela-sela perkuburan yang telah dipugar dengan cat berwarna putih.
“Kiban peu jeut lon bantu (bagaimana apa yang bisa saya bantu),” tanya Nur Habibah saat sudutberita.id menghampirinya, beberapa waktu lalu. Dengan memakai pakaian daster, ia baru saja selesai membersihkan sisa-sisa rumput di sekitar makam, yang telah dipotong menggunakan mesin.
Nur Habibah merupakan salah satu penjaga kompleks pemakaman militer Belanda di Aceh. Nama pemakaman tersebut adalah Kerkhof Petjut. Lokasinya berada di kawasan Desa Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh.
Di dalam kompleks itu, 2000 lebih tentara Belanda yang tewas dalam perang Aceh dikuburkan. Pemakaman Kherkof itu merupakan kuburan terbesar kedua tentara Belanda setelah pertama terbesar di negaranya.
“Saya agak kurang paham terkait kuburan ini, tanya sama bapak (suami Nur Habibah) saja, beliau lebih tahu karena sudah lama di sini,” kata Nur Habibah seraya menunjuk ke arah suaminya yang berada tak jauh dengan gerbang pemakaman.
Suami Nur Habibah bernama Amri. Pria kelahiran Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat itu telah menjadi juru pelihara dan perawatan kuburan militer Belanda sejak tahun 1988. Artinya, Amri sudah menetap di kompleks kuburan itu selama 31 tahun.
Saat sudutberita.id menghampirinya, Amri sedang sibuk merapikan pot bunga hias yang akan dinaikkan ke dalam becak untuk diantar kepada pemesan. Bunga-bunga tersebut diletakkan di area parkir bertepatan pas di depan gapura gerbang pemakaman.
“Kalau saya mau berbicara (di media), apa kamu bisa memperjuangkan saya akan lebih baik,” tanya Amri, memulai percakapan.
Lalu, Amri berdiri dan berjalan sekitar sepuluh meter mendekati dinding yang menyambung ke gerbang. Kemudian, ia menunjukkan sebuah tulisan “Peutjut-Fonds” yang terpampang di sebuah papan nama di pos penjagaan depan gerbang pemakaman.
“Saya digaji satu juta lima ratus sebulan oleh Yayasan Pocut, tugas saya di sini menjaga dan merawat kuburan ini, pemerintah daerah tidak pernah peduli dengan nasib saya,” ujar Amri.
Saat ini, Amri berumur 63 tahun. Selain istri, ia memiliki empat orang anak. Di kompleks kuburan itu, Amri menjalani kehidupan selama bertahun-tahun. Meski tinggal di kompleks kuburan, namun tak ada rasa takut dari benak Amri dan keluarganya.
“Hal-hal angker itu ada di mana-mana, bukan hanya di kuburan, apakah di laut, hutan, gunung itu semua ada, jadi semua itu tergantung diri kita masing-masing kuat atau tidak,” kata Amri.
Amri menuturkan bahwa ada beberapa pengunjung yang kesurupan saat mendatangi kuburan itu. Menurutnya, hal itu terjadi karena mereka sedang dalam keadaan lemas, sehingga mudah dirasuki makhluk lain.
“Beberapa waktu lalu, ada seorang anak yang berteriak setelah melihat seseorang dengan rambut panjang berdiri di hadapannya, namun orang lain tidak bisa melihatnya, nah itu terjadi karena si anak itu lagi lemas, dan pikirannya mungkin lagi kosong,” ujar Amri.
Yang terpenting, kata Amri, pengunjung yang mengunjungi kuburan itu tidak boleh dalam pikiran kosong dan menghayal hal-hal yang tidak bermanfaat. Selain itu, para pengunjung juga tidak boleh takabur.
“Jangan takabur, misalnya kita katakan oh mana ada hal-hal yang mistis itu, yang begitu tidak boleh,” katanya.
Amri menceritakan, ia bersama istri merawat pemakaman itu dengan ikhlas. Walaupun memiliki gaji tidak begitu besar, ia telah berhasil menyekolahkan anaknya dari sekolah dasar hingga menempuh pendidikan di universitas.
“Anak bisa mendapat pendidikan bagi saya sudah sangat luar biasa, tidak ada guna kita kerja hebat dengan gaji yang banyak, tetapi anak kita terlantar dan kurang perhatian,” tutur Amri.
Menurut Amri, gaji Rp 1.500.000 yang ia terima setiap bulan merupakan dikirim langsung oleh pihak Belanda. Semua biaya itu ditanggung oleh Yayasan Dana Petjut atau Stichting Petjut-Fonds yang saat ini diketuai oleh Robert Jan Nix.
Yayasan Dana Petjut adalah yayasan yang didirikan di Belanda pada tahun 1976 oleh para keluarga dan mantan tentara Belanda yang dulu pernah bertugas di Aceh. Yayasan itu dibangun untuk menjadi wadah dalam mengumpulkan dana yang akan dipergunakan untuk pelestarian kompleks pemakaman Kerkhof Petjut.
Sejak didirikan, kata Amri, Yayasan Dana Petjut telah mengeluarkan dana sebesar empat miliar untuk membantu perawatan dan pelestarian pemakaman Kerkhof Petjut, termasuk rehabilitasi pasca bencana tsunami tahun 2004 silam.
Amri menjelaskan, pemakaman Kerkhof Petjut di Banda Aceh merupakan bukti monumental perang Aceh yang masih tersisa. Selain itu, pemakaman ini menjadi bukti kuat sekaligus simpul yang merangkaikan kisah sejarah dari berbagai sudut pandang yang menghubungkan sejarah masyarakat Aceh dengan dunia. Komplek pemakaman itu dibuka setiap hari, mulai dari pagi hingga sore.
“Jan Nix itu anak perwira Belanda, beberapa waktu lalu ia ada mengunjungi kami, jadi biaya yayasan itu merupakan kumpulan dari pihak yang ada keluarganya dikubur di sini,” kata Amri.
Amri menyebutkan, dari 2.200 nisan dalam komplek, terdapat empat makam yang merupakan milik tentara Belanda berpangkat jenderal, salah satunya yaitu Johan Harmen Rudolf Köhler. Kohler ditembak mati oleh pejuang Aceh dalam perang sekitar tahun 1873 di kawasan Masjid Raya Baiturrahman, Kutaraja (saat ini Banda Aceh).
Saat itu, Kohler terkena peluru tepat di jantungnya. Lalu, mayatnya dibawa ke Singapura dengan kapal uap Koning der Nederlanden dan dimakamkan di pemakaman Tanah Abang, Batavia, (saat ini Jakarta).
Pada tahun 1976, pemakaman tersebut digusur, mayat Kohler kemudian dibawa ke Aceh dan dimakamkan di pemakaman Kerkhof Petjut. Pemakaman Kohler di Tanah Rencong setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Aceh
“Dia di tempak di depan Masjid Raya Baiturrahman, sehingga saat itu sempat dibangun monumen di sana, pas di lokasi Kohler tertembak,” kata Amri.
Makam Meurah Pupok
Selain kuburan tentara Belanda, di dalam kompleks pemakaman Kerkhof Petjut juga terdapat kuburan milik Meurah Pupok, yang merupakan putra kesayangan Kerayaan Aceh yakni Sultan Iskandar Muda.
Di dalam kompleks itu, makam Meurah Pupok terpisah dari makam lainnya. Demikian juga dengan nisannya yang menonjolkan ciri khas Islam. Konon, Meurah Pupok disebut-sebut dihukum rajam oleh ayahnya sendiri, Sultan Iskandar Muda karena putra kesayangannya berbuat zina. Karena itulah, Meurah Pupoh dimakamkan terpisah dari pemamakaman raja-raja Aceh lainnya.
Saat kejadian itulah muncul pepatah sultan, “Matee aneuk meupat jeurat, gadoh adat pat tamita.” Artinya adalah “Meninggal anak diketahui kuburan, hilang adat dimana kita akan mencarinya”. Di sisi lain, keputusan Sultan Iskandar Muda saat itu juga menunjukkan bahwa hukum tidak boleh tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Kontroversi
Tentang kebenaran hukuman rajam untuk putra Sultan Iskandar Muda itu masih menuai kontroversi. Ada yang mengatakan benar adanya, ada pula yang menyebut bahwa itu hanya fitnah bekala dari orang dekat sultan.
Fitnah disebut-sebut sengaja dimunculkan agar Meurah Pupok terjerat perbuatan zina. Hal itu dilakukan sebagai upaya dalam menggulingkan sosok tersebut sebagai ahli waris Kerajaan Aceh setelah Sultan Iskandar Muda meninggal.
Saat ini, makam Meurah Pupok terawat dengan baik seperti makam prajurit dan jenderal Belanda di sekelilingnya. Makam putra mahkota raja itu pun sudah dipagari dengan dan nisannya sudah dibalut dengan kain, yang dinilai untuk pencegahan hilangnya ornamen pada nisan. []