BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam datang untuk meluruskan agama-agama sebelumnya yang telah diselewengkan oleh pengikutnya. Dibekali al-Qur’an sebagai kitab suci yang mana otentitasnya sebagai wahyu Allah tidak diragukan lagi. Bahkan Allah menantang kaumnya untuk membuat yang serupa dengan al-Qur’an jika mereka ragu bahwa al-Qur’an bukan wahyu akan tetapi manusia tidak sanggup memmbuatnya yang kekhasan dan keunikannnya sama dengan al-Qur’an.
Tiada ungkapan yang paling indah dan menyejukkan jiwa selain lantunan ayat-ayat al-Qur’an. Ia merupakan obat (syifa’) dan kasih sayang (rahmah) bagi umat manusia. Berdialog dengan al-Qur’an sesuatu yang menyenangkan. Pesan-pesan yang terkandung di dalamnya memikat jiwa. Sepantasnya, kitab suci inilah yang dijadikan sumber pemecahan segala persoalan hidup yang dihadapi manusia. Namun, al-Qur’an tidak akan memberikan sesuatu jika ia tidak dibaca, tidak dipelajari, tidak dipahami dan tidak dihayati.
Sebagai kalam Allah, teks dijadikan internalisasi kalam, sehingga perlu menggunakan cara-cara yang sesuai dalam memahami teks sebagai pendekatan. Islam mempunyai cara sendiri untuk memahami kitab sucinya, yaitu dengan penafsiran. Dalam metode tafsir, tidak hanya dilihat secara parsial saja (hanya melihat teks), akan tetapi latar yang melingkupi dan menimbulkan teks (Asbabun nuzul) tersebut juga menjadi pertimbangan dalam penafsiran, sehingga darinya dapat diambil makna tersirat (spirit) dari teks secara dhahir.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas dapat di identifikasi rumusan masalah sebagai berikut :
a. Apa Pengertian Wahyu Al-Qur’an?
b. Apa Fungsi Al-Qur’an?
c. Bagaimana Hubungan Al-Qur’an dengan Hadits, Ijma’ dan Qiyas?
d. Bagaimana Pendekatan Pokok dalam Studi Al-Qur’an?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan makalah diatas maka pembuatan makalah ini bertujuan untuk sebagai berikut:
a. Dapat Mengetahui Apa Pengertian Wahyu Al-Qur’an
b. Dapat Mengetahui Apa Fungsi Al-Qur’an
c. Dapat Mengetahui Hubungan Al-Qur’an dengan Hadits, Ijma’ dan Qiyas
d. Dapat mengetahui Pendekatan Pokok dalam Studi Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN WAHYU AL-QUR’AN
Al-Qur’an berasal dari kata Arab yang terambil dari akar kataقرأ kata ini memiliki tiga bentuk noun (mashdar), yaitu قرأنا dan يقرأ ,قرأ secara bahasa kata ini memiliki arti mengumpulkan.
Namun ada perbedaan pendapat dari pakar bahasa Arab mengenai tulisan dan bacaan kata Al-Qur’an. Perbadaan ini pada dasarnya dapat di bedakan ke dalam dua kelompok. Ada yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah isim ‘alam yang tidak di ambil dari kata apapun. Dalam pendapat ke dua para pakar bahasa Arab berlainan pendirian mengenai kepastian asal kata Al-Qur’an itu. ada yang menyatakan di ambil dari kata Qara’in (قرائن) jamak dari kata Qarinah (قرينة) yang berati indicator, da nada pula yang menduga berasal dari kata Qaranah (قرن) dan al-qara’u/al-qaryu (القرء/القري) yang masing-masing berarti menggabungkan dan kumpulan/himpunan, seperti pengertian di awal tadi.[1]
Jika di renungkaan dengan seksama, terdapat beberapa unsur Al-Qur’an yang di sepakati oleh pakar ilmu Al-Qur’an. Unsur-unsur Al-Qur’an yang di maksud ialah :
pertama, Al-Qur’an adalah wahyu atau kalam Allah Swt. sebagai Wahyu Allah, tentu saja Al-Qur’an mutlak bukan puitisasi para penyair,bukan mantra-mantra tukang tenung, bukan bisikan setan, bukan juga sabda Nabi Muhammad Saw. Kedua, Al-Qur’an di turunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Ini menunjukkan bahwa kalam atau wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi dan rasul Allah yang lain tidak dapat di namakan Al-Qur’an. ketiga, Al-Qur’an di sampaikan melalui malaikat jibril. Semua ayat Al-Qur’an di wahyukan melalui malaikat jibril. Keempat, Al-Qur’an di turunkan dalam bentuk lafal Arab. para ulama meyakini bahwa Al-Qur’an di turunkan dari Allah Swt. bukan semata-mata dalam bentuk makna seperti halnya Hadits Qudsi, akan tetapi sekaigus juga lafalnya.[2]
Dari keempat unsr-unsur di atas, dapatlah di katakan bahwa Al-qur’an ialah kalam Allah Swt. yang di turunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dalam bentuk lafal Arab dengan perantaraan malaikat jibril. Sedangkan hal-hal lain seperti dinukilkan kepada kita dengan cara mutawattir, diawali dengan surah Al-fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas, serta ditulis dalam mushaf,itu menyangkut hal-hal yang bersifat teknis bagi penyampaian dan pemeliharaan Al-Qur’an.
Sebagai wahyu, al-Qur’an bukan pikiran dan ciptaan Nabi Muhammad SAW. Perdebatan al-Qur’an sebagai firman Allah (wahyu) telah terjadi semenjak al-Qur’an diturunkan. Akan tetapi manusia tidak akan mampu menyusun satu ayatpun sebagaimana al-Qur’an, baik segi susunan dan keindahan bahasanya juga maknanya lebih-lebih kepastian dan kebenaran akan isinya yang berlaku mutlak dan tidak bisa dipungkiri.
B. FUNGSI AL-QUR’AN
Allah sebagai Khaliq (pencipta) dan manusia sebagai makhluk mempunyai hubungan timbal balik. Manusia mempunyai keterikatan atau hubungan dengan Allah. Paling tidak ada tiga hal yang membuat manusia terikat dan tergantung penuh terhadap Allah, yaitu hubungan penciptaan, pengajaran dan pemberian rezeki.
Sebagai konsekuensi dari hubungan dan keterikatan ini, manusia pula mesti menjalin hubungan baik dengan-Nya, yaitu bersyukur kepada-Nya. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah bagaimana bersyukur itu? Manusia memang sudah Allah anugerahkan akal yang dapat menganalisis apa yang ada pada dirinya alam sekitar, yang mungkin saja dapat menemukan cara bersyukur kepada Allah. Akan tetapi, akal tidak cukup mampu menemukan cara bersyukur itu dengan senpurna. Maka untuk itulah al-Qur’an diturunkan, berfungsi membimbing manusia bersyukur kepada-Nya dan mengajar cara-cara bersyukur ini.
Al-Qur’an menyebutkan fungsi beberapa fungsinya hadir di tengah-tengah manusia, yaitu menjadi maw’izhah, syifa’ al-qalb, hudan, rahmah dan al-furqan.[3]
1. Maw’izhah
Kata maw’izhah merupakan mashdar mimi dari kata wa’azha. Secara harfiah is berati an-nushhu (nasihat) dan at-tadzkir bi al-awaqib (memberi peringatan yang disertai ancaman). Ibnu Sayyidih, seperti dikutib oleh Ibnu Manzu, mendefinisikan al-mauizhah itu kepada “perinngatan yang diberikan kepada manusia untuk melunakkan hatinya yang disertai dengan ganjaran dan ancaman“.
Al-Qur’an menyebut dirinya sebagai al-mau’izhah. Hal ini berarti, bahwa sebagai pemberi nasihat dan peringatan kepada manusia. Nasihat Al-Qur’an itu disertai janji-janji, baik ancaman berupa neraka bagi orang yang melanggar nasihat tersebut maupun ganjaran beruapa surga bagi orang yang menurutinya. Nasihat dan peringatan itu dapat melunakkan dan meluluhkan hati, sehingga jiwa diharapkan tertarik kepada kebenaran yang disampaikannya.
Orang yang dapat menangkap maw’izhah hanyalah orang-orang yang benar-benar hatinya mencari dan merindukan kebenaran; ketika membaca dan memahaminya benar-benar berangkat dari ketulusan hati dan kepercayaan yang penuh terhadapnya. Sebaliknya, mempelajari Al-Qur’an yang didasarkan atas keraguan bahkan ketidakpercayaan terhadapnya tidak akan melunakkan hati dan jiwa.
2. Syifa’ (obat)
Seacra harfiah, syifa’ berarti obat. Maka Al-Qur’an sebagai asy-syifa’merupakan obat bagi manusia. Artinya, Al-Qur’an dapat mengobati penyakit yang timbul di tengah-tengah komunitas, baik penyakit individual maupun penyakit masyarakat. Tentu saja, hal itu jika manusia mau berobat sesuai petunjuk Al-Qur’an. Penyakit-penyakit peribadi seperti stres; kegundahan dan pikiran kacau dapat diobati oleh Al-Qur’an. Demikian pula penyakit-penyakit masyarakat, seperti sikap hedonisme, fitnah, kecanduan narkoba, korupsi dan krisis moral lainnya.
Pemgobatan Al-Qur’an diarahkan kepada hati, karena ia adalah sumber segala perbuatan jahat maupun perbuatan terpuji. Penyakit yang sedang menimpa pribadi dan masyarakat berasal dari hati yang sakit. Penyakit itu adalah kesombongan, keangkuhan, mencintai dunia dan jabatan yang sangat berlebihan; riya, dengki dan lain sebagainya. Penyakit-penyakit inilah yang melahirkan perampokan, prostitusi, korupsi, hedonisme, arogansi dan pembelaan terhadapnya. Al-Qur’an diturunkan kepada manusia dalam rangka mengobati penyakit-penyakit tersebut.
3. Hudan (petunjuk)
Kata hudan berasal dari kata hada. Dari kata ini juga terbentuk kata hidayah dan al-hadi, dimana yang terakhir ini merupakan salah satu Asmaul Husna. Secara harfiah, ia berarti menjelaskan, memberi tahu dan menunjukkan. Dan al-hadi berarti yang memperlihatkan dan memperkenalkan kepada hamban-Nya jalan mengetahui-Nya, sehingga para hamba mengakui rububiyah-Nya. Secara istilah, hidayah berarti “tanda yang menunjukkan hal-hal yang dapat menyampaikan seseorang yang dituju“.
Maka al-Qur’an sebagai hudan atau hidayah berarti, bahwa fungsi al-Qur’an adalah menjelaskan dan memberitahu manusia tentang jalan yang dapat menyampaikan kepada tujuan hidup, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Atau dengan kata lain, al-Qur’an bagaikan rambu-rambu dan isyarat yang mengarahkan manusia dalam menjalankan kehidupannya di dunia ini. Jika manusia menuruti rambu-rambu dan arahkan yang diberikan, maka manusia akan selamat ke tujuan.
4. Rahmat
Al-Qur’an sebagai rahmat mempunyai tiga arti. Pertama ajaran yang terkandung di dalamnya mengandung unsur kasih sayang. Ia berfungsi menyebarkan kasih sayang kepada seluruh makhluk. Kedatangan Muhammad SAW dengan membawa al-Qur’an digambarkan sebagai rahmat bagi semesta alam. Artinya, seluruh ajaran, gagasan, ide dan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam al-Qur’an yang dibawanya itu dibangun atas prinsip kasih sayang. Tidak ada ketentuan ajaran al-Qur’an yang tidak mengandung kasih sayang.
Arti kedua adalah ajaran-ajaran tersebut bermaksud menanamkan perasaan lembut dan kasih terhadap orang lain, bahkan alam sekitar. Perintah dan larangan serta ketentuan lainnya yang terdapat dalam al-Qur’an bermaksud membimbing manusia agar berada dalam kehidupan yang harmonis, saling mencintai, saling asih dan saling menghargai.
Arti ketiga adalah bahwa kitab suci ini merupakan perwujudan rahmat Allah bagi manusia. Atau dengan kata lain, Allah memberikan rahmat kepada manusia melalui al-Qur’an.
5. Furqan (pembeda)
Seacra harfiah kata furqan berasal dari kata faraqa, yang berarti pembeda. Al-Qur’an menyebut dirinya sebagai pembeda (furqan) antara yang benar dan yang salah, antara yang hak dan yang bathil, antara kesesatan dengan petunjuk dan antara jalan yang menuju keselematan dengan jalan yang menuju kesengsaraan.
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa manusia telah Allah bekali akal indera dan hati, dimana manusia melalui ketiga hal itu dapat mengenali kebenaran dan membedakan antara hak dan batil.[4]
C. HUBUNGAN AL-QUR’AN, AS-SUNNAH, IJMA‘, DAN QIYAS
Al-Qur’an adalah hujjah bagi umat manusia dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya wajib dipatuhi. Tidak ada khilaf sedikitpun diantara umat Islam bahwa al-Qur’an itu sebagai sumber pokok ajaran Islam. Dari al-Qur’anlah diambil segala pokok syari’ah dan cabang-cabangnya. Juga dari al-Qur’anlah dalil-dalil syar’i mengambil kekuatan. Dengan demikian jelas bahwa al-Qur’an merupakan dasar pokok bagi ajaran Islam dan mencakup segala hukum.
Pada umumnya isi kandungan Al-Qur’an bersifat global dalam mengemukakan suatu persoalan. Itulah sebabnya Al-Qur’an memerlukan interpretasi sebagai upaya untuk merincikan ayat yang sifatnya global tersebut.[5]
Jika suatu nash hukum tidak didapai dalam al-Qur’an dan Sunah barulah digunakan ijma’, yaitu pendapat ulama’-ulama’ atau ijtihad, pendapat seorang ulama’ atau dengan qiyas, yaitu membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang sudah pasti hukumnya.
1. Kehujjahan al-Qur’an
Al-Qur’an menempati kedudukan pertama dari sumber-sumber hukum lain dan merupakan aturan dasar tertinggi. Oleh karena itu sumber hukum dan norma yang ada tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan kepada umat manusia untuk diamalkan segala perintahnya dan ditinggalkan segala larangannya. Dasar kehujjahakn al-Qur’an terdapat pada surat An-Nisa’ ayat 105.
2. Kehujjahan As-Sunnah
Sunnah secara bahasa adalah artinya jalan yang ditempuh atau jalan yang sudah terbiasa. Sedangkan menurut istilah sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan maupun penetapan pengakuan. Allah memerintahkan kita dalam al-Qur’an agar taat kepada Allah dan juga Rasul-Nya.
Fungsi Sunnah sebagai sumber hukum Islam kedua yaitu: Pertama, sebagai penguat hukum peristiwa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Kedua, sebagai pemberi keterangan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, yang bersifat global,membatasi kemutlakan suatu ayat,dan membawa hukum baru yang tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an.[6]
Jika sekiranya as-Sunnah bukan merupakan hujjah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur’an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an. Karena itu, As-Sunnah baik ia menjelaskan al-Qur’an atau berupa penetapan suatu hukum, umat Islam wajib menaatinya.
3. Ijma’
Ijma’ menurut bahasa berarti kesepakatan atau sependapat tentang suatu hal. Menurut istilah ijma’ adalah kesepakatan mujtahid pada suatau masa sepeninggalan Rasulullah SAW. yaitu bahwa apabila terjadi suatu peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, para ulama kemudian mengkaji masalah tersebut, dan akhirnya menyepakati hukumnya.[7]
Dasar hukum ijma’ berupa al-Qur’an, as-Sunnah dan akal pikiran. Misalnya pada surat Ali Imran ayat 103. Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itulah berijma’ (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati para mujtahid. Bila para mujtahid telah melakukan ijma’ tentang hukum (syara’) dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma’ itu hendaklah diikuti. Karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta.
4. Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur. Menurut ulama’ ushul fiqh, qiyas meruapkan penetapan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkan dengan suatu kejadian atau peristiwa lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat (alasan) antara kedua kejadian atau peristiwa itu. Jadi suatu qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian.
Tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melakukan qiyas, ialah mencari apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan Qiyas.
Hubungan al-Qur’an dan as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas adalah sebagai sumber sumber dalil-dalil syar’i yang ketiganya (as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas) digunakan setelah melihat dalam al-Qur’an tidak terdapat penyelesaian dan penjelasannya.
D. PENDEKATAN POKOK DALAM STUDI AL-QUR’AN
Al-Qur’an berupa teks dan dipengaruhi oleh konteks yang ada (asbabun nuzul), jadi dalam pendekatannya perlu mengiterpretasi teks tanpa melupakan konteksnya. Dalam pendekatan al-Qur’an dikenal dengan metode tafsir dan takwil.
Secara bahasa, kata tafsir berasal dari fassara yang semakna dengan awdhaha dan bayyana, dimana tafsir sebagai mashdar dari fassara-semakna dengan idhah dan tabyin. Kata-kata tersebut dapat diterjemahkan kepada menjelaskan atau menyatakan. Secara istilah, tafsir berati menjelaskan makana ayat al-Qur’an, keadaan kisah dan sebab turunnya ayat tersebut dengan lafal yang menunjukkan kepada makna dhahir. Secara simpel Adz-Dzahabi mendefinisikan tafsir itu kepada “penjelasan kalam Allah atau menjelaskan lafal-lafal al-Qur’an dan pengertian-pengertiannya.
Menafsirkan al-Qur’an berarti menangkap makna yang terkandung di dalamnya. Dan kerena al-Qur’an itu merupakan pesan-pesan Ilahi yang datang dari Allah, maka berarti seorang mufassir berusaha dengan kemampuan yang dumilikinya menangkap makna yang pengertian yang dimaksud Allah dalam ayat-ayat tersebut, dengan demikian, seorang musafir berarti menemui makna bukan mengadakan makna.
Sedangkan takwil merupakan mashdar dari awwala yaitu awwala, yuawwilu, takwil. Secara bahasa, ia berarti ruju’ (kembali) kepada asal. Takwil menurut istilah berarti “memalingkan suatu lafal dari makna dhahir kepada makna yang tidak dhahir yang juga dikandung oleh lafal tersebut, jika kemungkinan makna itu sesuai dengan al-Kitab dan Sunnah.
Menurut ulama’ salaf, takwil ni mempunyai dua arti, pertama menafsirkan suatu ungkapan dan menjelaskan maknanya, baik sesuai dengan makna dhahir maupun tidak. Maka takwil dalam arti ini semakna dengan tafsir, ia merupakan dua istilah yang muradif (sama). Dan makna kedua adalah sesuatu yang dikehendaki oleh suatu ungkapan, jika ungkapan itu perintah melakukan sesuatu makna takwilnya adalah perbuatan itu sendiri. Dan jika ungkpan itu dalam bentuk berita, maka takwilnya adalah berita yang disampaikan itu.[8]
Jika dilihat dari segi teknis atau cara bagaimana mufassir menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an, maka tafsir itu dapat dikatagorikan dalam beberapa macam, yaitu tahlili, muqaran, mujmal dan mawdhu,i.
1. Tahlili
Tafsir tahlili (analisis) ialah menafsirkan al-Qur’an berdasarkan susunan ayat dan surah yang terdapat dalam mushaf. Seorang mufassir, dengan menggunakan metode ini, menganalisis setiap kosa kata atau lafal dari aspek bahasa dan makna. Metode tahlili merupakan cara yang dipergunakan oleh para mufassir klasik masa lalu.
1. Muqaran
Secara harfiah, muqaran berarti perbandingan. Secara istilah, tafsir muqaran berarti suatu metode atau teknik menafsirkan al-Qur’an dengan cara membandingkan pendapat seorang mufassir dengan mufassir lainnya mengenai tafsir sejumlah ayat. Dalam perbandingan seorang mufassir menjelaskan kecenderungan masing-masing mufassir dan menangkap sisi subjektivitas mereka yang tergambar pada legimitasi terhadap madzhab yang dianutnya. Selai itu tafsir muqaran juga memperbandingkan suatu ayat dengan ayat lainnya, atau perbandingan antara ayat dan hadits. Yang diperbandingkan itu adalah ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits yang memperbincangkan persoalan yang sama.
2. Ijmali
Tafsir ijmali adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Maka tafsir ijmalai dapat artikan kepada penjelasan maksud ayat al-Qur’an secara umum tidak terperinci, atau penjelasan singkat tentang pesan-pesan ilahi yang terkandung dalam suatu ayat. Para mufassir yang menggunakan metode ini menyajikan kepada pembaca isi kandunga ayat, tanpa mengulas secara luas sihingga mudah dipahami oleh para pembaca dan mereka merasa penafsiran tidak jauh dari konteks.
3. Mawdhu’i
Tafsir mawdhu’i (tematik) ialah menafsirkan ayat al-Qur’an tidak berdasarkan atas urutan ayat atau surah yang terdapat dalam mushaf, tetapi berdasarkan masalah yang dikaji. Mufassir dengan menggunakan metode ini, menentukan permasalahan yang akan dicari jawabannya dalam al-Qur’an. Kemudian dia mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah tersebut yang tersebar dalam berbagai surah.
Tafsir dan takwil mempunyai makna yang sama, seperti yang sudah disinggung di atas. Sebagian ulama’ ada yang berbeda pendapat. Para ulama’ yang melihat tafsir dan takwil sebagai dua istilah yang berbeda, juga tidak sependapat dalam menjelaslkan perbedaan itu, yaitu sebagai berikut:
Sebagian ulama’ mereka mengatakan tafsir itu lebih umum dari takwil karena ia dipakai dalam kitab Allah dan lainnya. Sedangkan takwil lebih banyak dipergunakan dalam kitab Allah.
Tafsir pada umummnya dipergunakan ada lafal dan mufradat (kosa kata), sedangkan takwil pada umumnya dipergunakan untuk menunjukkan makna dan kalimat (jumlah).
Diantara para ulama’ ada pula yang mengatakan bahwa tafsir adalah penjelasan yang berdasarkan riwayah, sedangkan takwil penjelasan yang didasarkan atas dirayah.
Dikalangan ulama’ menta’khirkan, takwil diartikan kepada memalingkan makna suatu lafal dari makna yang kuat kepada makna yang kurang kuat. Sedangkan tafsir menjelasakan makna suatu makna ayat berdasarkan makna yang kuat.[9]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang disampaikan dalam bahasa Arab, diturunkan secara berangsur-angsur melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat, disampaikan kepada kita penganutnya secara mutawatir yang telah ditulis di Mushaf Usmani.
2. Fungsi al-Qur’an dapat diketahui berdasarkan nama-namanya yaitu sebagai Maw’izah (nasihat), Syifa’ (obat), Hudan (petunjuk), Rahmat (kasih sayang) dan Furqan (pembeda).
3. Hubungan al-Qur’an dengan as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas adalah sebagai sumber dalil-dalil syar’i yang ketiganya (as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas) digunakan setelah melihat dalam al-Qur’an tidak terdapat penyelesaian dan penjelasan.
4. Ada beberapa metode dalam menafsirkan al-Qur’an yaitu tahlili, muqaran, ijmali dan mawdhu’i.
[1] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an,(Jakarta: Rajawali Pers,Cet I,2013), hlm. 19-20
[2] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers,Cet I,2013), hlm. 23-24
[3] Kadar M.Yusuf, Studi Al Qur’an, (Jakarta:Amzah, Cet I, 2009), Hlm 176-177
[4] Kadar M. Yusuf, Studi Al Qur’an, (Jakarta:Amzah, Cet I, 2009) hlm 177-183
[6] Umar shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an, (Jakarta:Pemadani Cet. III 2005, hlm. 339-340
[7] Umar shihab, kontekstualitas Al-Qur’an,(Jakarta: Pemadani,cet. III,2005, hlm. 342
[8] Kadar M.Yusuf, Studi Al Qur’an, (Jakarta: Amzah, Cet I, 2009), Hlm 126-130