Banda Aceh – Mie Aceh merupakan salah satu kejayaan kuliner yang dimiliki oleh Indonesia. Kuliner dengan bahan dasar mie tersebut, cukup fenomenal nan ikonik dari Provinsi Aceh. Rasanya yang gurih, telah menghipnotis siapa saja yang pernah menyantapnya, untuk kembali ingin mencicipinya.
Cara memasak Mie Aceh sesungguhnya tidak rumit, hanya tinggal mengklik pada laman google, siapa saja sudah memperoleh resepnya. Tetapi, soal rasa tunggu dulu. Butuh takaran bumbu yang pas serta jam terbang si peracik, untuk membuat Mie Aceh dengan rasa super.
Mie Aceh sejatinya bukan hanya soal lidah (rasa) dan perut (kenyang dan usaha untuk mencari rezeki), namun lebih dari itu. Mie Aceh adalah identitas bagi Provinsi berjuluk Serambi Mekkah. Rasanya yang strong, sesungguhnya mengindikasikan daya tahan orang Aceh, yang beberapa kesempatan berhasil keluar dari masa perang.
Sesungguhnya, Mie Aceh lazimnya dimasak dengan tiga varian: Mie Aceh goreng, Mie Aceh goreng basah, dan Mie Aceh rebus (banyak kuah). Ketiga pilihan tersebut, mempunyai keunikan enak yang tak sama. Tergantung lidah individu juga kebiasaan.
Seiring dengan perkembangannya, Mie Aceh punya varian baru. Khususnya soal toping. Mie Aceh tidak hanya dimasak mie saja, tetapi bisa ditemani dengan telur ayam, baik diceplok langsung, dihancurkan di dalam kuah, maupun telur yang dimasak di luar; dadar ataupun mata sapi.
Kemudian, ada daging; sapi, kambing maupun ayam. Satu lagi, Mie Aceh juga bisa dimasak bersama ikan, yang paling sering dipilih adalah ikan tongkol. Pendek kata, teman Mie Aceh yang paling lazim meliputi telur, daging sapi, dan tongkol. Sedangkan dari jenis seafood, maka udang merupakan pilihan yang paling dominan dipilih.
Selain itu semua, Mie Aceh bisa ditambah apapun sesuai keinginan. Seperti kerang, tiram, daging burung, kancil, dan sebagainya. Hanya saja, belakangan ada satu fenomena baru dimana masyarakat Aceh mulai gemar menikmati Mie Aceh yang dimasak dengan gurita.
Gurita dan Mie Aceh sesungguhnya bukan kali pertama muncul. Di masa yang jauh, juga sudah pernah dilakukan. Hanya saja, secara tren, satu dua tahun terakhir mulai masif. Ada tiga kabupaten/kota yang cukup meminati varian Mie Gurita. Seperti Kota Banda Aceh dan Sabang, serta Kabupaten Aceh Jaya.
Salah seorang pengusaha yang juga pemasok gurita, Rizky Fadli mengatakan, bahwa permintaan gurita di warungnya meningkat pesat. Sehari, bisa menghabiskan 20 hingga 25 pack gurita. Sedangkan di akhir pekan, bisa melebihi 35 pack. Menurutnya, Mie Aceh plus gurita menjadi pilihan utama para pemburu kuliner di warungnya.
“Alhamdulillah tren Mie Aceh gurita meningkat tajam ya. Di tempat kami, Mie Aceh Gurita menjadi best seller,” kata pengusaha asal Lamno, Aceh Jaya tersebut.
Tidak hanya di situ, ia juga menjadi pemasok gurita ke beberapa warung Mie Aceh di Kota Banda Aceh. Dalam penuturan Rizky Fadli, dalam 4 warung dalam seminggu bisa menghabiskan 20-30 pack gurita. Meskipun tidak sebanyak di tempatnya, namun ia menilai hal tersebut wajar. Sebab, di warungnya, memang dibranding dengan ikon utama gurita.
“Tentu beda tolok ukurnya. Yang jelas, kalau di tempat kami, kuliner dengan gurita sebagai olahan utamanya, terkhusus Mie Gurita boleh dibilang sudah jadi ikon daerah kami,” bebernya.
Mie Aceh gurita bukan hanya soal varian. Tetapi juga menghadirkan dimensi berbeda. Sebagaimana gurita yang notabe punya kaki banyak dan luwes, demikian pula eksistensi Mie Aceh di berbagai pelosok negeri di Indonesia ini. Sabang provinsi yang disinggahi, dipastikan ada Mie Aceh.
Mie Aceh telah menjadi mata penghidupan bagi perantau di tempat orang. Kehadirannya menjadi medium lepas kangen dengan rasa yang pas untuk lidah dan memori kampung halaman, bagi orang Aceh yang belum berkesempatan mudik. Di lain sisi, Mie Aceh juga bagian dari diaspora, akulturasi kebudayaan lewat makanan yang dibawa orang Aceh ke daerah tujuan rantau.
Kesemua itu, muaranya adalah penegasan bahwa soal rasa, Aceh memang berselera. Jika Sumatra Barat merantau dengan nasi dan rendangnya, maka orang-orang dari tanah rencong, punya Mie Aceh. []