Banda Aceh – Faisal Al-Banna tersenyum. Pemuda berusia 23 tahun yang tinggal di kawasan Kopelma Darussalam, Banda Aceh, Aceh ini menggeleng-gelengkan kepala saat ditanya tentang keinginannya menonton bioskop.
Dengan wajah samar-samar akibat cahaya monitor laptop, ia dengan khidmat menyaksikan sebuah film di kamar kosnya.
“Di Aceh kan tidak ada bioskop, maka terpaksalah saya nonton film di laptop,” kata Faisal, memulai percakapan. Tontotan film tersebut dihentikan sementara saat sudutberita.id menyambanginya, beberapa waktu lalu.
Faisal Al-Banna merupakan lulusan FKIP Kimia Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Setelah lulus, pria kelahiran Bireuen ini memilih menetap di Banda Aceh. Di pusat ibu kota provinsi Aceh itu, ia menjadi seorang pekerja lepas.
Di sela-sela waktu kosong dari pekerjaan, Faisal lebih banyak menghabiskan untuk menonton film. Di laptopnya, ada puluhan film tersimpan, di antaranya Captain Marvel, Avanger Infinty War, Avanger Endgame, Joker, Toy Story 4, Speder Man Far From Home, Instant Family dan masih banyak lainnya.
Faisal mendapatkan film-film tersebut dengan cara mendowload secara gratis dari internet. Hingga saat ini, sudah ratusan film ia tonton. Film itu rata-rata sudah terlebih dulu ditayangkan di bioskop.
“Ada film-film tertentu yang saya tertarik nonton langsung di bioskop saat pertama diluncurkan, namun apa boleh buat di sini tidak ada bioskop, maka harus bersabar sampai film tersebut tersedia di internet, baru kemudian saya nonton,” kata Faisal.
Hingga usia 23 tahun ini, Faisal mengaku baru pertama sekali menonton film di bioskop. Hal itu dilakukan pada 2015 silam di salah satu mal di Jakarta. Momen itu ia dapatkan saat liburan bersama keluarga.
“Itu pertama sekali, setelah itu tidak pernah nonton lagi,” kata Faisal.
Bagi Faisal, menyaksikan film di bioskop menghadirkan sensasi tersendiri. Karena di Aceh tak punya, maka alternatif salah satunya yaitu pergi ke Medan, Sumatera Utara. Namun, Faisal belum pernah melakukannya.
“Alasannya karena biaya yang mahal dan waktu yang tidak cukup karena jauh,” tutur Faisal.
Faisal menilai, sejatinya bioskop tidak akan melahirkan maksiat jika dikelola dengan baik. Misalnya, dengan memisahkan antara penonton laki-laki dengan perempuan. Ia pun sangat mendukung jika hal tersebut hadir dan diterapkan di Aceh.
“Tergantung niat kita masing-masing, apakah ke sana mau nonton film atau mau berbuat maksiat,” ujar Faisal.
Biasa-biasa Saja
Ichsan Maulana, 25 tahun, warga Kota Lhokseumawe meletakkan bioskop pada posisi biasa-biasa saja. Baginya, bioskop bukanlah suatu kewajiban. Jika ada, maka ia akan memanfaatkannya. Jika tidak, pun tidak menjadi masalah.
“Tapi dibilang nggak penting, juga bisa saja. Mengapa? karena secara kultur orang Aceh lebih dari satu dua dekade terakhir sudah biasa tanpa bioskop dalam artian bentuk semisal XXI,” kata Ichsan.
Ichsan mengaku tak ingat betul berapa kali sudah menyaksikan bioskop dalam tahun ini. Setidaknya, akhir-akhir ini ia sudah dua kali melakukannya, yakni di Kota Medan, Sumatera Utara. Pertama, usai lebaran Iduladha. Terakhir, sebulan yang lalu. Adapun film yang ditonton adalah Hit and Run serta Joker.
“Yang pasti, satu yang musti digarisbawahi bahwa banyak sekali orang Aceh yang sok tahu tentang Aceh dan bioskop. Lalu dengan latah gampangan menjudge orang Aceh jumut hanya karena tak ada bioskop. Pun sama, ada beberapa orang Aceh ya oknum lah, yang entah sadar atau enggak jauh lebih latah mengolok-olok masyarakatnya sendiri hanya karena hasratnya untuk ada bioskop tak kunjung dipenuhi,” kata Ichsan.
Fitri Amelia, 22 tahun, warga Kabupaten Bireuen menginginkan adanya bioskop di Aceh. Sebab, selama ini untuk menikmati film secara puas, maka harus ke Medan. Fitri mengaku sudah beberapa kali melakukannya.
“Biasanya pas ada film-film bagus aja dan filmnya booming,” kata Fitri.
Adapun film-film yang dinonton Fitri antara lain Joker, My Stupid Bos 2, Dua Garis Biru. Menurutnya, bioskop menjadi salah satu pilihan yang tepat untuk menghabiskan waktu akhir pekan.
“Tips nonton bioskop kalau mau tiket murah nonton di hari Senin sampai Jumat, karena biasanya Sabtu dan Minggu tiketnya mahal, secara anak kos gitu ya,” ujar Fitri.
Menurut Fitri, tak adanya bioskop di Aceh bisa jadi disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, bioskop didentik dengan ruangan gelap, dan para penonton bercampur antara laki-laki dan perempuan. Kedua, jadwal pemutaran film di bioskop juga berpotensi melampaui waktu salat.
“Terus kenapa misalnya di Aceh tidak ada bioskop, mungkin kan karena kalau di sini cewek sama cowoknya bisa duduk bareng gitu, misalnya gak dipisah-pisah antara cewek sama cowok, habis itu jam tayang bioskop sih, jadi misalnya ada film yang diputar jam 5 kurang 10, otomatis kan siapnya jam 8 gitu kan, itu kan sudah lewat waktu magrib,” kata Fitri.
Awal Mula Bioskop di Aceh
Sejarawan Aceh, Mawardi Umar menyebutkan, bioskop di daerah ini sesungguhnya sudah ada sejak masa kolonial Belanda atau sejak tahun 1930-an. Saat itu, Kota Banda Aceh sudah memiliki dua bioskop yang disebut kumedi gambar yaitu Deli Bioskop dan Rex Bioskop.
Kedua bioskop tersebut, kata Mawardi, berada di Peunayong dan Jalan Muhammad Jam, Kota Banda Aceh. Bahkan, bioskop ini telah ada sebelum listrik masuk ke Banda Aceh. Film diputar menggunakan pijar yang ditembak ke layar. Pemutaran dilakukan secara manual.
Saat itu, film yang muncul pun masih tanpa warna dan suara. Kedua bioskop itu dirintis oleh pengusaha Cina dan India. Mereka menganggap usaha tersebut sebagai investasi yang menguntungkan di masa mendatang.
“Jika melihat sejarahnya, itu bioskop sudah ada sejak masa kolonial, terutama ada dua bioskop dulu, karena bioskop sebagai bentuk hiburan, karena televisi belum ada, jadi hiburan masyarakat itu di samping bioskop ada pertunjukan-pertunjukan,” kata Mawardi saat ditemui di USK Banda Aceh, beberapa waktu lalu.
Mawardi mengatakan, pada masa kolonial ada aturan khusus, yakni tentang perbedaan kelas saat menonton bioskop. Saat itu, ada tiga kelas yang ditetapkan, yakni kelas golongan kolonial; golongan pribumi; dan golongan orang timur seperti Cina.
“Ini juga diaplikasikan, dipisah antara kelas kulit putih (kolonial) dengan pribumi, orang kolonial bioskopnya di kawasan Blang Padang, jadi orang pri umi nggak boleh menonton di sana, orang pribumi bioskopnya ada di Peunayong, itu untuk kelas bawah, terutama untuk orang-orang timur asing, seperti Cina dan masyarakat biasa,” ujar Mawardi.
Adapun nama-nama bioskop saat itu antara lain Deli Bioskop, Rex Bioskop, Garuda Theater, Bioskop Elang, Sinar Indah Bioskop (SIB), Jelita dan Pas 21.
“Semua bioskop itu berdiri mulai tahun 1930 sampai 1980,” kata Mawardi.
Revolusi Kemerdekaan
Pada masa revolusi kemerdekaan, sambung Mawardi, bioskop di Aceh kerap digunakan sebagai tempat-tempat pertemuan para pejuang dalam merumuskan strategi perjuangan. Pertemuan biasanya dilakukan pada siang hari. Sedangkan malam hari kembali difungsikan sebagai tempat menonton film.
“Kenapa pertemuan di bioskop? Karena saat itu kan ruang pertemuan nggak ada yang luas, nggak seperti sekarang kan ada dibuat ruang khusus untuk pertemuan, untuk perkawinan, dulu nggak ada, jadi satu-satunya tempat hanyalah di bioskop yang bisa menampung banyak orang,” kata Mawardi.
Bukan hanya di Banda Aceh, kondisi sama juga terjadi hampir di seluruh provinsi Serambi Makkah, seperti di Bireuen, Lhokseumawe, Lhoksukon (Aceh Utara), Pidie dan sejumlah tempat lainnya.
“Di Lhokseumawe, Lhoksukon, Bireuen, Sigli, semuanya dilakukan di dalam bioskop, jadi pertemuan para pejuang itu merumuskan strategi perjuangan dilakukan di dalam bioskop, sampai selesai revolusi kemerdekaan,” ujarnya.
Pada masa itu, kata Mawardi, film yang diputar tak disensor alias tidak ada penyaringan. Tetapi, para pengunjung bioskop hanya dibolehkan yang berumur 17 tahun ke atas. Di bawah itu, mereka tak diizinkan masuk.
“Belakangan saat itu lahir banyak bioskop, sampai ke Darussalam, ada PHR, di kampung-kampung juga, termasuk di Panton Labu ada tiga bioskopnya, dimana-mana banyak pengunjung karena orang tidak ada hiburan lain,” kata Mawardi melanjutkan.
Mulai Tenggelam
Dosen FKIP Sejarah Universitas Syiah Kuala itu menjelaskan, pada tahun 1990 hingga tahun 2000-an bioskop di Kota Banda Aceh mulai tenggelam. Penyebabnya pun bermacam-macam, antara lain masuknya teknologi yang canggih seperti televisi, serta munculnya pembajakan video tap.
“Zaman berubah, sistem media berubah, muncul kemudian televisi, saat muncul televisi orang lebih senang menonton televisi, mulailah menurun peminat bioskop, maka satu per satu bioskop bergugururan,” tutur Mawardi.
Di sisi lain, kata Mawardi, faktor yang menyebabkan bioskop tutup adalah konflik dan pemberlakuan Qanun Syariat Islam di provinsi paling barat Indonesia itu. Tak dipisahnya antara penonton laki-laki dengan perempuan menjadi satu alasan bioskop tak boleh ada lagi.
“Biasanya bioskop gak dipisah dia, itu jadi persoalan, dengan demikian berakhirlah bioskop di Aceh. Berkurangnya jumlahnya penonton karena televisi, itu alamiah ditambah lagi penegakan Syariat Islam untuk Aceh, yang tidak memungkinkan bioskop cambur laki-laki sama perempuan,” kata Mawardi.
Apabila di masa mendatang pemerintah ingin mendirikan kembali bioskop di Aceh, menurut Mawardi ini sah-sah saja, asal sesuai dengan aturan syariat Islam. Dengan demikian, pelanggaran-pelanggaran tak akan terjadi.
“Bisa saja nanti kalau mau dikembangkan satu bioskop untuk laki-laki dan satu untuk perempuan, ini tontonan juga sangat nyaman karena dipisah,” ujar Mawardi.
Wacanakan Dirikan Bioskop
Pemerintah Kota Banda Aceh telah mewacanakan mendirikan bioskop di kota tersebut. Jika jadi dibangun, maka akan tetap difokuskan kepada bertaraf syariah.
Bahkan, Wali Kota Banda Aceh Periode 2017-2022, Aminullah Usman menyebutkan, pembangunan bioskop akan merajuk kepada negara-negara Islam yang sudah memiliki tempat hiburan itu, seperti Arab Saudi dan Brunei Darussalam.
“Kita lihat negara-negara Islam bagaimana perlakuan terhadap bioskop, jadi supaya ini tidak menyalahi,” kata Aminullah Usman saat masih menjabat.
Sebelumnya, kata Aminullah, pihaknya telah membicarakan wacana itu bersama para ulama dan pihak terkait lainnya. Pembahasan tersebut menyimpulkan bahwa sebelum dikeluarkan perizinan soal bioskop, pihaknya akan melakukan studi banding terlebih dulu ke negara-negara Islam.
“Kami sepakat melakukan studi banding bersama ulama kita ke Arab Saudi atau negara Islam lainnya untuk mempelajari bagaimana soal konser musik dan bioskop di sana,” tutur Aminullah. []