Oleh: Muhammad Nasril, Lc. MA
MENJELANG hari raya Idulfitri 1444 H, ada fenomena unik dan menarik di negara kita, yaitu adanya kontroversi atau perbedaan pendapat dalam penentuan kapan umat Islam di Indonesia berhari raya; antara pemerintah dan organisasi masyarakat (ormas).
Pemerintah akan memutuskan 1 Syawal 1444 H melalui sidang itsbat yang akan dilaksanakan pada Kamis, 20 April 2023 (29 Ramadhan 1444 H). Nahdhatul Ulama (NU) juga dikabarkan akan menggelar rukyatul hilal. Sementara Muhammadiyah telah menetapkan 1 Syawal 1444 H atau lebaran Idulfitri jatuh pada Jumat, 21 April 2023. Seraya tetap berharap nanti keputusannya bisa berhari raya bersama.
Menurut Tim Falakiyah Kemenag Aceh, data astronomis awal Syawal 1444 H ketinggian hilal wilayah Aceh adalah 2,35 derajat di atas ufuk dengan elongasi 3,08 derajat. Sedangkan untuk wilayah timur dari Aceh hingga ke Papua posisi hilal lebih rendah dari keadaan hilal di Aceh. (Papua, 0,42 derjat). Berdasarkan data tersebut, kemungkinan besar hilal tidak dapat dirukyat, sehingga besar kemungkinan hilal tidak terlihat, maka Ramadan disempurnakan 30 hari dan Idulfitri akan jatuh pada Sabtu, 22 April 2023.
Artinya ada peluang terjadi perbedaan kapan jatuhnya Idulfitri, sedangkan saat melaksanakan ibadah puasanya pada 1 Ramadan 1444 H semua sama, tidak ada perbedaan, lalu kenapa saat berhari raya muncul lagi perbedaannya.
Jawabannya karena faktor penyebab perbedaan pendapat dalam persoalan ini adalah beda pemahaman nash (dalil) dan metode dalam mengistinbatkan/menghasilkan keputusan untuk mengetahui masuknya awal bulan Qamariah. Ada ormas yang mengaplikasikan secara independen metodologi hisab (wujudul hilal), ada juga metode rukyatul hilal, dan pemerintah mengambil posisi sebagai penengah dengan menggunakan konsep ‘imkan al-ru’yah’ (integrasi antara rukyat dan hisab yang berdasarkan visibilitas hilal) sebagai jalan tengah dengan kriteria yang telah ditetapkan.
Perbedaan ini dihasilkan karena perbedaan metode, maka sampai kapanpun hasilnya akan tetap berbeda, kalaupun ada persamaan itu hanya kebetulan saja. Oleh karena itu, sejatinya kita tidak perlu lagi membahas atau mengklaim metode mana paling benar atau siapa yang paling tepat dalam penentuan awal bulan Qamariah, karena semua mereka memiliki dalil dan argumen masing-masing.
Kalau masih menggunakan cara masing-masing sampai kapanpun tidak akan pernah ada titik temu, bukan berarti cara atau metode tersebut salah, akan tetapi karena ini menyangkut dengan perbedaan yang dapat membingungkan umat/masyarakat dan untuk mewujudkan persatuan dalam menjalankan ibadah puasa dan hari raya, alangkah indahnya kalau persoalan ini ditetapkan saja oleh pemerintah.
Tentu, perbedaan ini sedikit banyak telah membuat sebagian masyarakat galau, mereka bingung harus mengikuti siapa dan kapan merayakan Idulfitri 1444 H. Sungguh tak elok rasanya yang satu masih berpuasa dan satu lagi sudah berhari raya.
Dinamika keagamaan seperti ini sulit dikendalikan. Apalagi masing-masing merasa telah mengantongi legalitas dan merasa berhak untuk menetapkan. Tetapi, inilah sebuah realita, kiranya dapat menjadi kekayaan khazanah keilmuan di negara kita, menerapkan konsep moderasi beragama, tidak boleh saling menghujat dan harus tetap saling menghargai. Tidak perlu khawatir dan tidak perlu ragu tentang siapa paling benar, karena semuanya benar dengan metode masing-masing, akan tetapi demi kemaslahatan umat sebaiknya ada yang mau mundur selangkah dan pemerintah juga harus mampu menganyomi berbagai pendapat.
Mungkin fenomena seperti ini hanya ada di negara kita, di negara lain mereka seragam mengikuti keputusan yang telah ditetapkan oleh pihak yang diberi wewenang oleh pemerintah untuk menetapkan awal Ramadan atau Syawal. Mereka tidak bisa dipengaruhi oleh negara luar padahal berdekatan, tetapi mereka tidak ada perbedaan di internal.
Bahkan, di Mesir, hanya lembaga resmi saja yaitu Dar Al Ifta Mesir yang diperkenankan untuk mengumumkan tentang hilal Ramadan, selain itu, siapapun tidak diperkenankan untuk mengumumkan hilal Ramadan sebelum waktunya. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari kemudharatan dan kebingungan di tengah masyarakat. (FP dari ifta tahun 2022)
Mungkin saja permasalahan ini kecil bagi sebagian, tapi tidak bagi masyarakat umum, dalam menyikapi perbedaan tersebut mereka binggung menentukan pilihannya, keputusan siapa yang harus mereka ikuti untuk memulai berpuasa. Apakah keputusan pemerintah atau megikuti keputusan non-pemerintah (Ormas Islam) yang mengeluarkan fatwa tentang penetapan awal Ramadan.
Sekali lagi, perbedaan pendapat dalam fikih itu memang biasa, sesuatu yang lumrah dan wajar terjadi. Namun dalam masalah fiqh sosial kemasyarakatan, menyangkut kepentingan orang banyak, maka keputusan pemerintah semestinya menjadi solusi untuk ditaati. Apalagi jika hal tersebut berpeluang mengundang permasalahan dan perselisihan di tengah masyarakat, maka kita kembali ke kaidah fikih “Hukm al-haakim ilzaam wa yarfa’u al-khilaaf” (Keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang pendapat.)
Begitu juga dengan kaidah Tasharruf al-ra’i ala al-ra‘iyah manuth bi al-mashlahah (tindakan pemimpin terhadap rakyatnya dituntun oleh prinsip kemaslahatan umum). Artinya, pendapat yang paling didengar adalah yang paling maslahat untuk masyarakat. Sepanjang jelas maslahatnya bagi umat seperti dalam penentuan awal Ramadan, maka di situlah orang-orang yang berwenang (otoritatif) harus paling ditaati oleh umat.
Artinya, wajar ada perselisihan tentang penentuan awal Syawal kalau pemerintah tidak menetapkan keputusan dalam masalah tersebut. Akan tetapi kalau pemerintah hadir dan memutuskan dengan apa yang menjadi pendapatnya maka seluruh rakyat wajib berpuasa dan berhari raya berdasarkan keputusan pemerintah.
Memang, perbedaan pendapat dalam hal penentuan awal bulan Qamariah tidak dilarang, dan juga tidak mutlak harus taat kepada keputusan pemerintah. Namun untuk prinsip ‘kemaslahatan publik (al-maslahah al-‘âmmah)’ maka harus menjadi perhatian dan bersedia menghilangkan sikap ego kelompok masing-masing. Tidak lagi memperdebatkan metode apa yang digunakan, tapi cukup dengan ikhlas menyerahkan keputusan kepada pihak yang telah diberi wewenag oleh pemerintah. Kalaupun mau berdebat terkait metode, jauh hari silahkan duduk bersama mencari titik temu, sehingga saat diputuskan tetap solid.
Walaupun berbeda dengan keputusan pemerintah bukan hal yang salah, akan tetapi seharusnya untuk menghilangkan kegalauan dan kebingungan kapan hari raya Idulfitri tahun ini ketetapan pemerintah menjadi acuan utama dan ini menjadi jalan tengah serta solusi menghilangkan kebingungan.
Karena hilal kita sama (wilayatul hukmi), alangkah indahnya kita juga berpuasa dan berhari raya dengan ketetapan waktu yang sama. Semoga ke depan tidak ada lagi perbedaan. []
Penulis merupakan Mahasiswa S3 Hukum Islam UIN Jakarta (Program BIB Kemenag-LPDP) & Pengurus Dayah Insan Qurani Aceh Besar