Banda Aceh – Salah satu ciri khas dari muslim Indonesia adalah penggunaan peci di setiap ritual keagamaan. Seperti kala melaksanakan salat lima waktu. Kehadiran peci, hakikatnya memang bukan wajib, namun secara kultural, penggunaan peci sudah menjadi seakan wajib. Ada perasaan kurang, bila setiap perayaan keagamaan tanpa menggunakan peci.
Seiring perkembangan zaman, fungsi peci bukan hanya sekadar diperuntukkan untuk keagamaan semata, tetapi juga bagi yang lain. Yang paling lazim, peci hitam, akrab dikenakan bagi elit bangsa manakala dilantik untuk posisi tertentu.
Selain berubah fungsi, bentuk peci juga mengalami perubahan, bukan hanya peci putih ataupun beludru hitam. Yang paling mutakhir, di Provinsi Aceh mulai menggemari peci meukeutop. Kemunculannya, merupakan hasil inovasi para pengrajin yang terinspirasi dari kupiah meukeutop. Benda itu, identik dengan dua hal; ikon pahlawan Aceh, Tgk Umar dan atribut wajib bagi mempelai pria; linto, saat naik pelaminan.
Kemunculan kupiah meukeutop, paling terasa hype-nya tiga tahun terakhir. Kabupaten Pidie, Aceh Besar dan Banda Aceh boleh dibilang punya peminat di atas rata-rata. Popularitas kupiah meukeutop di Banda Aceh terbilang dahsyat. Hampir di setiap penjual peci, kupiah meukeutop menjadi salah satu yang tingkat penjualannya tinggi.
Popularitas yang massif, berimplikasi terhadap tingkat penjualan, muaranya adalah kupiah meukeutop sudah menjadi salah satu cinderamata mata, ataupun oleh-oleh khas dari Banda Aceh. Para pelancong dari berbagai daerah, saban pulang dari Banda Aceh, rata-rata membawa pulang kupiah meukeutop ke daerahnya.
Sebagai ibukota Provinsi Aceh, Banda Aceh yang menjadi destinasi pariwisata religi dari Bumi Serambi Mekkah, kerap dikunjungi pelancong mancanegara. Khusus untuk negara Asia Tenggara, pelancong dari Malaysia menjadi bagian dengan jumlah terbanyak pemburu kupiah meukeutop.
Buah tangan dari Banda Aceh ini wajar diminati. Desainnya yang unik, memiliki nilai historis serta bermotif khas, menjadi nilai lebih yang melekat pada kupiah meukeutop. Kehadirannya memperbanyak pilihan dalam dunia per-peci-an, tidak hanya Aceh dan Indonesia, namun juga dunia.
Kepopuleran kupiah meuketop tidak terlepas dari peranan media sosial. Beberapa anak muda, beberapa waktu ke belakang, kerap mengunggah foto mereka setelah mengenakan kupiah meuketop. Bagi yang baru pertama kali melihat, mengundang penasaran dan bangkitnya hasrat untuk memiliki.
Tidak hanya di situ, eksistensi kupiah meuketop juga sempat menjadi gerakan, salah satunya dipelopori oleh Dosen Universitas Syiah Kuala (USK), Dosen Hukum Adat Fakultas Hukum, Dr Teuku Muttaqin Mansur MH. Ia bergerak dengan hashtag #gerakansejutakupiahaceh. Gerakan tersebut punya dampak yang cukup positif bagi kemasyhuran kupiah Aceh.
Lebih jauh, popularitas kupiah makin melejit sebab setiap acara perkantoran yang ada di Aceh, manakala pertukaran cinderamata dengan pihak luar yang melaksanakan studi banding, salah satu item yang diberikan dari Aceh ialah kupiah meuketop. Tidak hanya di situ, beberapa tokoh di Indonesia, tertangkap kamera pada beberapa momen menggunakan kupiah Aceh. Tanpa terkecuali para artis ibukota.
Dalam perjalanannya, kupiah Aceh telah menjadi sumber ekonomi bagi para pengrajin. Mata rantai ekonomi berjalan sesuai dengan relnya. Dari pengrajin, pedagang hingga tiba di tangan pembeli. Yang paling disyukuri atas keberadaan kupiah meuketop adalah adanya perputaran ekonomi di sebuah daerah, dan berdayanya ekonomi bagi pengrajin hingga seterusnya.
Hanya saja, seiring dengan permintaan yang meningkat, menghadirkan dampak lainnya bagi pengrajin yang membuat kupiah meuketop secara manual. Mereka kalah saing, oleh beberapa industri (rata-rata di luar Aceh) yang ikut memproduksi kupiah tersebut. Di saat yang sama, jumlah produksi yang banyak dan dilakukan oleh mesin, harga dapat ditekan. Dampaknya adalah, para pengrajin manual kalah bersaing, dan menjadi pilihan kedua sebab tak mungkin menekan harga, lantaran produksinya manual.
Kenyataan tersebut menjadi perhatian bersama agar pengrajin manual tetap eksis, dan industri tetap berjalan. Butuh kolaborasi antara pihak-pihak terkait baik pemerintah maupun swasta, untuk duduk rembuk bagaimana mensejahterakan kesemua pihak, tanpa merasa ada yang dirugikan. Jika itu berjalan, maka keberadaan kupiah meuketop Aceh akan selalu eksis dan mensejahterakan semua pihak.
Untuk diketahui, merujuk pada laman Kanwil DJKN Aceh, dijelaskan bahwa warna-warna yang menempel pada kupiah meuketop memiliki makna tersendiri. Merah melambangkan jiwa kepahlawanan, kuning melambangkan kerajaan atau negara, hijau menandakan agama, hitam berarti ketegasan atau ketetapan hati, sementara itu putih bermakna kesucian atau keikhlasan.
Secara keseluruhan, kupiah meukeutop terbagi menjadi empat bagian. Sama seperti pada warna, tiap bagian ini juga memiliki arti tersendiri. Bagian pertama bermakna hukum, bagian kedua, bermakna adat, bagian ketiga bermakna qanun dan bagian keempat bermakna reusam. Jelaslah bahwa, kupiah meuketop bukan hanya unik, tetapi mengandung nilai-nilai pada setiap hal-hal yang menempel padanya. []