Jakarta – Forum Jurnalis Aceh Jakarta (For-JAK) menggelar bedah buku “Sejarah Mati di Kampung Kami” karya Nezar Patria, Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo). Kegiatan berlangsung di Aula Lantai 2 Badan Penghubungan Pemerintah Aceh (BPPA), Jalan RP Soeroso, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (21/7/2023).
Buku ini berisi kumpulan tulisan Nezar Patria hasil liputan mendalamnya saat masih menjadi jurnalis dan sebagian lagi artikel opininya yang diunggah di akun media sosial pribadinya.
Kumpulan tulisan tersebut berkisah tentang peristiwa konflik Aceh, tsunami, cerita humanis tentang kehidupan sosial kemasyarakatan, hingga dinamika informasi di era digital.
Kegiatan bedah buku hasil kerja sama For-JAK dengan BPPA, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Syariah Indonesia (Persero) Tbk, PT Pegadaian (Persero), PT PLN (Persero), dan penerbit Tanda Baca ini, Nezar menceritakan tulisan paling berkesan dalam buku tersebut.
“Sejarah Mati di Kampung Kami satu-satunya tulisan saya sebagai wartawan yang saya tulis dengan gemetar,” kata Nezar Patria yang juga Dewan Pembina For-JAK saat menceritakan tentang bukunya.
Didampingi sastrawan Bre Redana dan dosen komunikasi Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Samiaji Bintang sebagai pembicara dalam acara tersebut, Nezar menceritakan bahwa saat itu Aceh baru beberapa hari setelah gempa disusul tsunami yang meluluhlantakkan pesisir Aceh, Minggu 26 Desember 2004.
Nezar yang saat itu masih jurnalis TEMPO ditugaskan oleh medianya untuk pulang kampung sekaligus meliput langsung ke Aceh.
Kampung Mulia di Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh yang merupakan kampung halaman Nezar seperti kampung mati. Jalan ke rumah orangtua Nezar tak bisa diakses karena jalan tertutup tumpukan sampah tsunami.
Untuk sampai ke rumah masa kecilnya itu, dia harus menggunakan jalan memutar.
Setiba di rumahnya, Nezar menyaksikan tempat tumbuh besar sudah luluh lantak. Benda kenangan masa kecil semua habis disapu Tsunami.
Nezar menggambarkan kondisi yang dilihatnya itu dalam tulisan berjudul “Sejarah Mati di Kampung Kami”. Artikel tersebut dia tulis dengan hati kalut dan selesai hanya dalam dua jam.
Artikel tersebut pernah dimuat di TEMPO dan jadi satu dari 29 artikel yang tertuang dalam buku “Sejarah Mati di Kampung Kami”.
Menurut Bre Redana, dalam buku ini, Nezar memperlihatkan Aceh dari sudut pandang berbeda.
Banyak narasi-narasi penting soal Aceh yang disampaikan dalam rangkuman artikel ini.
“Narasi-narasi ini menurut saya penting untuk menjelaskan Aceh sekarang dan Aceh selanjutnya,” ujar Bre yang merupakan mantan wartawan Harian Kompas.
Cara Nezar menggambar peristiwa besar lewat potret kecil ikut dipuji Bre. Dia mencontohkan artikelnya tentang pabrik kecap di Kampung Mulia, Banda Aceh.
Menurutnya, Nezar sudah menunjukkan bahwa sejarah tidak melulu dibentuk oleh narasi-narasi besar.
Samiaji Bintang yang hadir sebagai penanggap menyatakan, semenjak dirinya masih menjadi jurnalis, tulisan Nezar memang selalu menjadi referensi dan inspirasi.
Tulisan khas Nezar dengan lead menarik yang membuat pembaca tidak bisa lepas sampai akhir.
“Untuk menulis tulisan seperti ini perlu pemikiran dan perlu pengamatan lingkungan,” ujar Samiaji yang merupakan mantan jurnalis Majalah Pantau di Aceh.
Terbitnya buku ini, disebutnya akan sangat membantu untuk pengayaan wawasan calon jurnalis di perguruan tinggi.
Artikel-artikel dalam buku ini juga dianggapnya bisa memberikan ruang imajinasi di tengah kebuntuan politik pada hari ini.
Diskusi dan bedah buku “Sejarah Mati di Kampung Kami” dihadiri berbagai kalangan dan diawali pembacaan puisi berjudul “Sayap Seudati” oleh sastrawan yang juga jurnalis Fikar W Eda dan dimoderatori oleh Muhammad Riza Nasser, produser BTV. []