Banda Aceh – Lembaga Aceh Resource & Development (ARD) menggelar diskusi dengan tema “Persoalan Pengungsi Rohingya di Aceh, Tanggung Jawab Siapa?” di Cafe Pao Pia Garden, Banda Aceh, Sabtu (13/1/2024) sore.
Salah satu narasumber, Protection Associate dari UNHCR, Muhammad Rafki membahas perannya dalam menangani isu pengungsi Rohingya di Aceh sejak 2015. Rafki, yang bertugas di Pekanbaru, memberikan wawasan mendalam mengenai kompleksitas penanganan pengungsi di tingkat global.
UNHCR, sebagai badan PBB dengan posisi sebagai badan kemanusiaan, menganggap penanganan pengungsi sebagai tanggung jawab bersama. Rafki menekankan bahwa isu pengungsi tidak bisa diselesaikan dengan cepat, mengingat kompleksitas dan besarnya tantangan yang dihadapi.
Menurut data yang ada, Aceh memiliki jumlah pengungsi di bawah negara lain. Namun, fokus utama saat ini adalah penyelamatan nyawa, bukan hanya di laut tetapi juga di lokasi-lokasi yang kurang layak.
“Saat ini penyelamatan nyawa jadi prioritas, bukan hanya yang di laut tapi juga di lokasi-lokasi kurang layak,” katanya.
Rafki memberikan gambaran lebih lanjut mengenai krisis pengungsi global, seperti di Turki, Bangladesh, Pakistan, Afrika, dan Venezuela. Dia mencatat bahwa semua negara penerima pengungsi juga menghadapi masalah internal dan menekankan bahwa penanganan masalah ini harus dilakukan secara bersama-sama.
Dalam konteks khusus Rohingnya, Rafki menyatakan bahwa UNHCR menghormati berbagai pandangan, baik dari sisi kemanusiaan, sosial budaya, maupun ketahanan negara. Namun, yang terpenting saat ini adalah misi penyelamatan nyawa di tengah kondisi yang sulit.
Rafki menyoroti pentingnya memisahkan tindakan yang melanggar hukum dari hak orang untuk mencari suaka. Dia menekankan bahwa pengungsi tidak kebal hukum dan wajib mematuhi hukum setempat. Jika ditemukan pelanggaran hukum di antara kelompok pengungsi, UNHCR mendukung proses hukum yang berlaku.
UNHCR mengapresiasi peran kepolisian dalam mengungkap kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), sementara juga memberikan dukungan seperti penerjemah dan pendampingan.
Dalam kesempatan itu, Rafki mengajak untuk mengupas permasalahan Rohingnya dari fakta-fakta resmi atau ahlinya, sambil menekankan pentingnya melihat latar belakang dan pengalaman traumatis yang dialami oleh pengungsi. Dia juga mengingatkan bahwa Aceh memiliki sejarah positif dalam penyelamatan Rohingya pada tahun 2016 dan 2017.
Dalam menghadapi krisis ini, Rafki menyarankan adanya tanggung jawab bersama, seperti konsep Responsibility Sharing, untuk membantu saudara-saudara yang membutuhkan. Pemerintah Indonesia, dalam Refugee Global Forum, juga telah menegaskan komitmennya untuk memberikan pendidikan dan pemberdayaan kepada pengungsi.
Rafki menyimpulkan bahwa untuk menyelesaikan masalah ini, perlu adanya upaya global dan penyelesaian konflik. Meskipun perang bukanlah kewenangan UNHCR, Rafki menyoroti Surat Edaran Kemdikbud 2019 yang mengizinkan pengungsi bersekolah, sebagai langkah positif dalam memberikan hak pendidikan kepada mereka.
“1998-2003, 8000 hingga 9000 orang Aceh mengungsi ke Malaysia. Di Malaysia berada di bawah perlindungan UNHCR. Maret 2003 ketika pemerintah Malaysia berniat melakukan pemaksaan pulang terhadap warga Aceh, yang paling tegas melakukan pembelaan adalah UNHCR. Ini untuk menjawab pertanyaan siapa kami yang sebenarnya,” katanya.