CerpenNews

Rendaman Sungai

TEPI cakrawala di ufuk barat, tampak makin menggelap. Awan mendung lalu terbawa angin ke sisi timur. Sepasang suami istri, Sukma dan Takdir, yang sedang berada di pasar, akhirnya dirundung kekhawatiran. Mereka takut kalau hujan deras akan turun dan banjir akan terjadi. Jika demikian, bisa-bisa, rendaman lada mereka di sungai akan terbawa arus.

Tanpa banyak pikir, mereka memutuskan untuk pulang saat masih di ujung pagi. Mereka lalu mengemas belanjaan, sembari melayangkan tanggapan sekenanya kepada orang-orang yang mempertanyakan rencana kepulangan mereka yang begitu dini. Hingga akhirnya, mereka memulai perjalanan dengan berboncengan sepeda motor. Mereka tak peduli lagi kalau mereka belum membeli sejumlah kebutuhan rumah tangga.

Baru di awal perjalanan, mereka pun kembali beradu mulut. Itu terjadi setelah Takdir kembali melontarkan singgungan dengan suara keras di tengah suara rusuh tabrakan udara, “Inilah yang terjadi kalau Ibu tidak mau mendengarkan pendapatku. Sudah kubilang kalau lebih baik lada kita direndam di kolam, tetapi Ibu malah menolak.”

“Kolam, ya, untuk penampungan air. Kalau Bapak mau merendam lada kita di rumah, ya, buat kolam perendaman secara khusus,” tanggap Sukma, setengah berteriak, di belakang telinga kanan sang suami.

“Memangnya membuat kolam perendaman lada itu mudah dan tidak membutuhkan banyak biaya?” tangkis Takdir.

“Ah, sudah, Pak. Tak usah berdebat. Cepat-cepat saja, agar kita bisa segera mengamankan lada kita,” ujar Sukma, kesal.

Akhirnya, Takdir kambali fokus menyetir sepeda motor. Di belakangnya, Sukma hanya duduk tenang dan bungkam.

Seminggu yang lalu, setelah mereka memanen habis buah lada mereka di seberang sungai, memang sempat terjadi adu pendapat soal di mana lada itu akan direndam sampai kulitnya membusuk dan biji-bijinya bisa dibersihkan. Takdir mau kalau empat karung ukuran sedang berisi buah lada itu, kembali direndam di kolam penampungan air mereka di belakang rumah, dengan beralasan kalau itu akan membuat lada mereka aman dari aksi pencurian dan terjangan banjir. Tetapi Sukma menolak. Ia merasa sudah cukup untuk melakukannya pada musim-musim panen sebelumnya. Selain karena ia sangat membutuhkan air kolam untuk mandi dan mencuci sebab ia malas melakukannya di sungai, ia juga tak suka dengan aroma rendaman lada yang akan tercium seperti bau tinja.

Sampai akhirnya, Takdir mengalah. Ia tak sanggup melawan pendapat ngotot sang istri. Karena itu, enam hari yang lalu, waktu dini hari, saat ia yakin kalau tetangga dekat rumahnya masih tertidur lelap, ia lalu membawa karungan buah ladanya ke sungai dengan gerobak. Ia tentu tak ingin seorang pun tahu soal langkah perendamannya tersebut, sebab kabar-kabar bisa sampai ke telinga orang yang berwatak garong, dan ladanya bisa lenyap tercuri.

Dengan langkah yang senyap dan hati-hati, di bawah pancaran sinar rembulan yang terang, ia lantas membawa karungan buah ladanya ke sebuah titik di sisi seberang, sekitar 15 meter ke arah hilir, yang cukup menyimpang dari titik permandian warga. Ia merasa itu pas sebagai lokasi perendaman sebab airnya cukup tenang karena adanya tanjung tanah yang ditumbuhi bambu, yang membendung aliran sungai. Selain itu, lokasi tersebut juga diselubungi rindangan pohon bambu yang rebah dan hampir menyentuh permukaan sungai, sehingga rendamannya akan terhindar dari pengelihatan orang-orang.

Dengan rasa aman, ia pun mengikat pucuk karungan buah ladanya dengan satu sisi ujung tali nilon, kemudian mengikatkan satu sisi lainnya pada pangkal pohon bambu yang tegak di tepi daratan. Ia lalu membenamkan karungan-karungan itu ke dasar sungai, lantas menumpukinya dengan batu-batu besar agar tidak mengapung. Ia melakukan tahapan itu dengan baik untuk keempat karungannya, agar terhindar dari ancaman aliran sungai dan aksi pencurian.

Takdir memang merasa semestinya merahasiakan perendaman ladanya dari pengetahuan orang lain. Itu karena di lingkungannya, terdapat sejumlah orang yang suka mengutil, di antaranya adalah Jaka yang tuli-gagu, juga Harto yang pemabuk. Selain itu, ada juga perakit kayu yang kabarnya kadang menilap barang warga di sepanjang aliran sungai. Dan tentu, ada Rahim yang pernah dua kali ketahuan mencuri jemuran cengkih warga di tepi sungai, sehingga ia dikucilkan dan ia terpaksa bermukim terasing di seberang sungai bersama keluarganya. Karena itu pula, para warga meminta Takdir untuk tidak menjual lahan di samping rumahnya kepada Rahim yang mau mendirikan rumah di perkampungan, sebab warga masih menstigmanya sebagai pencuri, meski ia tampak telah bertobat.

Tetapi setelah melakukan langkah perendaman secara sembunyi-sembunyi, Takdir merasa kalau karungan ladanya akan aman dari aksi penggarongan.

Namun akhirnya, ia malah dibuat waswas oleh ancaman alam atas langit yang tampak menggelap. Ia jelas khawatir kalau hujan deras turun, lalu banjir besar datang menyapu bersih rendaman ladanya. Sebuah kemungkinan yang sebenarnya berada di luar perkiraannya, sebab masa sudah memasuki musim kemarau. Apalagi, pagi tadi, ketika ia meninggalkan rumahnya, cahaya matahari tampak bersinar terang.

Dan kini, saat ia dan istrinya baru menempuh sepertiga jarak perjalanan pulang, tanpa bisa terelakkan, hujan pun turun. Hujan yang sangat deras. Maka demi menyelamatkan rendaman lada yang merupakan sumber penghidupan mereka, Takdir memilih tak berhenti dan terus saja memacu laju sepeda motornya, sedang sang istri diam saja di sisi belakangnya.

Sekian lama kemudian, setelah melewati lebih dari setengah jarak perjalanan pulang, mereka pun melintas di jalan yang dekat dari aliran sungai. Mereka lantas menyaksikan kalau air sungai telah berwarna cokelat dan telah meninggi. Mereka pun makin khawatir. Karena itu, Takdir menambah kecepatan sepeda motornya, bahkan Sukma memintanya untuk lebih cepat lagi.

Sampai akhirnya, pada tiga seperempat jarak perjalanan, akibat jalan beton yang licin setelah dipenuhi debu dan dibasahi air hujan, tiba-tiba, ban sepeda motor mereka tergelincir saat sedang menikung di sebuah turunan. Mereka pun terjatuh, dan barang belanjaan mereka berserakan. Beruntung, mereka hanya luka ringan, dan sepeda motor mereka tidak rusak parah.

Cepat-cepat, mereka lantas bangkit dan memungut barang belanjaan mereka, sembari terus beradu mulut dan saling menyalah-nyalahkan. Setelah puas saling merutuki, mereka pun kembali melanjutkan perjalanan. Tetapi atas apa yang baru saja terjadi, Takdir akhirnya lebih berhati-hati dan sekadar melajukan sepeda motornya dengan kecepatan sedang,

Sekian waktu kemudian, mereka pun sampai di rumah mereka. Takdir lalu memarkirkan sepeda motornya, lantas berlari ke sungai. Tanpa menunda waktu, ia kemudian terjun ke aliran yang deras, dan berenang ke sisi seberang, ke titik perendamannya. Dan betapa terkejutnya ia setelah melihat kalau empat ikatan tali nilon pada batang bambu, telah raib beserta karungan ladanya.

Dengan perasaan pilu, Takdir lalu kembali ke rumahnya. Ia sontak mendapatkan pertanyaan dari istrinya. Ia pun berkata polos saja kalau lada mereka telah hilang terbawa banjir. Seketika pula, mereka kembali saling menyalahkan perihal perbedaan pendapat soal tempat perendaman lada mereka. Sampai akhirnya, mereka lelah sendiri dan memilih untuk saling mendiamkan.

Waktu demi waktu terus bergulir. Takdir dan Sukma bungkam saja pada sisi mereka masing-masing. Di tengah dingin hujan yang tak juga reda, mereka tampak kehilangan semangat untuk melakukan aktivitas apa-apa selain merenungi nasib mereka yang malang. Mereka seolah sama-sama mengadu pilu kepada Tuhan atas cobaan berat yang mereka alami.

Sampai akhirnya, dua jam berselang, ketika hujan deras mereda dan hanya tampak sebagai gerimis, terdengarlah ketukan di daun pintu. Takdir lalu bangkit dari posisi duduknya dan menyambut sang tamu. Dan seketika pula, ia terheran setelah mendapati Rahim dalam keadaan yang basah kuyup.

Sukma lalu menyusul ke gerbang pintu dengan raut yang juga penuh tanya.

“Ada apa, Rahim?” sidik Takdir, penasaran, tanpa merasa perlu untuk berbasa-basi dan mengajak lelaki yang lebih mudah lima tahun darinya itu untuk masuk ke dalam rumahnya.

Rahim tersenyum singkat. “Anu, Pak. Aku hendak memberi tahu kalau tadi, saat banjir mulai naik, aku telah mengangkat empat karung lada Bapak dan mengamankannya. Aku khawatir kalau lada itu hanyut terbawa arus.”

Sontak saja, Takdir dan Sukma mengucapkan syukur.

“Lalu, lada itu di mana?” selidik Takdir.

“Ada di seberang, Pak. Aku menyembunyikannya di semak-semak, di dekat pohon mangga,” terang Rahim.

Takdir lalu tersenyum. “Terima kasih, ya. Nanti aku ke seberang.”

Rahim mengangguk. “Sama-sama, Pak.”

Tetap seketika, muncul pertanyaan besar di benak Takdir, “Oh, ya, kenapa kau bisa tahu kalau aku merendam lada di situ?”

Rahim kemudian tersenyum kikuk. “Dua hari yang lalu, selepas subuh, aku melihat Bapak menuju ke situ dan mengendap-endap lama. Karena aku penasaran tentang apa yang Bapak lakukan, aku pun mengecek, hingga aku jadi tahu kalau Bapak merendam lada.”

Takdir pun mengangguk-angguk saja.

“Maaf kalau aku lancang atas rasa penasaranku, Pak,” tutur Rahim

Takdir tersenyum simpul. “Tak apa-apa. Toh, kalau kau tak tahu, kau tidak akan mengamankannya dari banjir.

Rahim balas tersenyum, kemudian pamit dan pergi.

Seketika, Takdir dan Sukma berbalas senyuman senang. Mereka sangat gembira mengetahui kalau rendaman lada mereka ternyata telah terselamatkan. Mereka sungguh tak menyangka kalau penolong mereka adalah Rahim yang masih distigma para warga sebagai pencuri.

Kini, Takdir dan Sukma jadi berubah pikiran terhadap Rahim. Mereka pun mulai mempertimbangkan untuk merelakan seluasan tanah di samping rumah mereka untuk dibeli Rahim sebagai lokasi pendirian rumah. Mereka bahkan mulai berpikir untuk meyakinkan warga bahwa Rahim benar-benar telah insaf. []

Ramli Lahaping. Penulis cerpen kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi) atau Facebook (Ramli Lahaping).

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga !!
Close
Back to top button