News

Masjid Jogokariyan: Dari Sejarah Politik ke Simbol Persatuan dan Keharmonisan Masyarakat

Yogyakarta – Masjid Jogokariyan, yang dibangun pada tahun 1966, bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga menjadi simbol penting dalam perjalanan sejarah sosial dan politik masyarakat Yogyakarta.

Pembangunan masjid ini tidak terlepas dari dinamika sosial yang terjadi di lingkungan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Pada saat itu, Sultan Hamengkubuwono membuka Kampung Jogokariyan sebagai solusi terhadap sesaknya penduduk yang tinggal di Ndalem Beteng Baluwerti di kawasan Keraton, yang mulai penuh sesak akibat pertumbuhan jumlah penduduk.

Keputusan untuk membangun Masjid Jogokariyan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kebutuhan akan tempat ibadah yang representatif, tetapi juga oleh keinginan untuk menyatukan masyarakat yang sebelumnya terpecah akibat perbedaan aliran dan peristiwa politik yang terjadi di masa Demokrasi Liberal. Terutama, tragedi 30 September 1965 (G30S) yang telah memecah belah banyak kelompok masyarakat, termasuk yang ada di Jogokariyan.

Nama “Masjid Jogokariyan” dipilih dengan tujuan yang sangat mendalam. Nama tersebut diyakini dapat menghapuskan perbedaan yang pernah ada dan menjadi titik temu bagi berbagai elemen masyarakat yang terpecah oleh konflik politik dan ideologi.

Para pendiri masjid berharap bahwa dengan menggandengkan kata “Jogokariyan”, masyarakat yang sebelumnya terpecah akibat perbedaan pandangan politik dan aliran keagamaan bisa disatukan melalui sebuah simbol religius yang memayungi mereka semua. Ini menjadi bentuk upaya rekonsiliasi berbasis kultur kampung yang kuat, yang tidak hanya mengingatkan pada sejarah kelam, tetapi juga menawarkan harapan akan masa depan yang lebih harmonis.

Secara lebih luas, pembangunan Masjid Jogokariyan mencerminkan upaya para tokoh lokal dalam merespons kebutuhan sosial dan spiritual masyarakat. Tidak hanya sebagai tempat untuk beribadah, masjid ini juga menjadi pusat kegiatan sosial dan budaya yang mengakomodasi berbagai lapisan masyarakat.

Hal ini menciptakan jembatan komunikasi yang efektif antara berbagai kelompok yang sempat terpecah, baik itu akibat perbedaan politik maupun perbedaan aliran keagamaan.

Dalam konteks sejarah sosial Yogyakarta, Masjid Jogokariyan lebih dari sekadar simbol religius. Ia menjadi saksi atas perjalanan panjang masyarakat Jogokariyan dalam merajut kembali tali persaudaraan yang sempat terputus akibat gejolak politik pada masa lalu.

Masjid ini menjadi bukti nyata bahwa agama, dalam hal ini Islam, bukan hanya sebagai wahana ibadah, tetapi juga sebagai alat untuk mempersatukan kembali masyarakat yang terbelah.

Dalam mempelajari sejarah pembangunan Masjid Jogokariyan, penting untuk melihatnya dalam konteks sejarah politik Indonesia, khususnya peristiwa-peristiwa besar seperti G30S.

Gejolak sosial yang terjadi pada masa Demokrasi Liberal mengakibatkan banyaknya perpecahan di masyarakat, terutama di kalangan kelompok-kelompok yang sebelumnya bersatu dalam ikatan sosial dan budaya yang kuat.

Salah satu sumber yang relevan untuk memahami peran Masjid Jogokariyan dalam menyatukan masyarakat adalah buku “Sejarah Yogyakarta: Dari Keraton Hingga Kampung” oleh Siti Sumiati yang mengulas tentang sejarah sosial dan politik masyarakat Yogyakarta.

Selain itu, laporan sejarah peristiwa 30 September 1965 dan dampaknya terhadap masyarakat Yogyakarta juga dapat ditemukan dalam berbagai kajian politik yang membahas periode transisi dari Orde Lama ke Orde Baru.

Secara keseluruhan, Masjid Jogokariyan menjadi sebuah lembaga yang berfungsi tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai lembaga sosial yang berperan dalam mengatasi perpecahan di tengah masyarakat, sekaligus menjadi simbol ketahanan dan rekonsiliasi bagi masyarakat Jogokariyan. []

Penulis: Ampon Avicenna Al Maududdy, M. Hum (Dosen Tetap Prodi Pengembangan Masyarakat Islam/Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Al-Aziziyah Indonesia (UNISAI) Samalanga, Kabupaten Bireuen, Aceh).

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button