
*Avicenna Al Maududdy, M. Hum
Ma’meugang, sebuah tradisi yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Aceh, menyimpan cerita panjang tentang perhatian kerajaan terhadap rakyatnya, khususnya mereka yang kurang mampu.
Dalam Qanun Meukuta Alam Al Asyi Dar’assalam, Sultan Aceh menegaskan kewajiban para Uleebalang dan pemimpin wilayah untuk mendata fakir miskin, anak yatim, orang sakit, dan lansia sebulan sebelum datangnya hari ma’meugang, baik untuk menyambut bulan suci Ramadhan maupun hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Setiap penerima bantuan diidentifikasi dengan cermat, dan data tersebut disampaikan hingga ke Sultan untuk memastikan distribusi bantuan yang merata.
Bantuan yang disalurkan oleh kerajaan tidak hanya berupa daging ma’meugang, tetapi juga berupa 5 hasta kain dan sejumlah uang untuk membantu biaya selama bulan puasa.
Para penerima manfaat menerima anugerah langsung melalui sistem distribusi yang melibatkan berbagai lapisan pemerintahan: dari Keuchik, Imum Mukim, hingga Uleebalang Raja Kenegerian. Setiap langkah ini dilakukan dengan sangat terorganisir untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun warga yang tertinggal.
Namun, tidak hanya sekedar ritual; bagi Kerajaan Aceh, ma’meugang adalah bentuk tanggung jawab sosial yang tertera dalam konstitusi mereka. Jika bantuan tersebut tidak sampai kepada yang berhak, Sultan Aceh tidak segan untuk memberi sanksi kepada Uleebalang yang bertanggung jawab atas kelalaian tersebut.
Ini menunjukkan betapa seriusnya peran kerajaan dalam memastikan kesejahteraan rakyatnya, terutama pada momen-momen penting seperti menjelang Ramadhan atau perayaan Idul Fitri dan Idul Adha.
Meskipun kerajaan Aceh sudah lama runtuh, tradisi ma’meugang tetap bertahan dalam masyarakat Aceh hingga kini. Jika pada masa kesultanan, bantuan ma’meugang ditanggung oleh kerajaan, kini masyarakat Aceh sendiri yang secara sukarela bergotong royong untuk membantu mereka yang membutuhkan.
Tradisi ini mencerminkan kuatnya solidaritas sosial dalam masyarakat Aceh, yang tidak membiarkan siapa pun merasa terpinggirkan, terutama pada hari-hari besar keagamaan.
Melalui ma’meugang, masyarakat Aceh terus menjaga nilai kebersamaan dan empati, menjadikannya lebih dari sekadar tradisi, tetapi juga simbol kekuatan sosial yang menghubungkan setiap lapisan masyarakat dalam semangat persaudaraan.
Ma’meugang bukan hanya sekadar tradisi pemberian daging kepada mereka yang kurang mampu, tetapi juga merupakan sebuah nilai kemanusiaan yang hidup dan diwariskan turun-temurun.
Tradisi ini mencerminkan budaya gotong-royong yang sangat kental dalam masyarakat Aceh, di mana kepedulian terhadap sesama adalah suatu kewajiban moral yang dihormati dan dijunjung tinggi.
Pada zaman Kesultanan Aceh, perhatian kerajaan terhadap kesejahteraan rakyatnya sangat jelas, terutama kepada kelompok masyarakat yang rentan seperti fakir miskin, anak yatim, orang sakit, dan lansia.
Sultan Aceh yang bertanggung jawab langsung atas pembagian bantuan ini menunjukkan sebuah sistem pemerintahan yang sangat mengutamakan kesejahteraan sosial.
Pada hari Ma’meugang, tidak hanya daging yang disalurkan, tetapi juga rasa kebersamaan yang sangat terasa. Bagi masyarakat Aceh, hari tersebut menjadi momen penuh makna, di mana mereka yang mampu berbagi dengan mereka yang membutuhkan, mempererat hubungan sosial antar sesama.
Pembagian bantuan tidak hanya terkait dengan materi, tetapi juga menciptakan rasa saling peduli yang memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat.
Seiring berjalannya waktu, meskipun sistem pemerintahan Aceh telah berubah, tradisi makmeugang tetap hidup dalam masyarakat Aceh.
Rakyat Aceh yang telah terbiasa dengan semangat kebersamaan tidak membiarkan tradisi ini hilang. Mereka melanjutkan tradisi tersebut melalui solidaritas sosial yang tinggi, dengan berbagai komunitas, kelompok, dan individu yang secara sukarela mengumpulkan dana dan sumber daya untuk membantu mereka yang membutuhkan.
Ini adalah bukti nyata bahwa tradisi makmeugang bukan hanya warisan sejarah, tetapi juga bagian integral dari identitas sosial dan budaya Aceh yang terus berkembang.
Selain itu, ma’meugang juga mengajarkan kita untuk lebih peduli terhadap sesama, terutama pada waktu-waktu yang penuh berkah. Dalam menyambut bulan suci Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, ma’meugang bukan sekadar ritual tradisional, melainkan sebuah pengingat akan pentingnya kepedulian sosial dan empati terhadap sesama.
Dengan cara ini, Aceh tetap mempertahankan semangat berbagi dan saling menolong, yang telah menjadi ciri khasnya sepanjang sejarah.
Kekuatan tradisi ma’meugang yang terus bertahan hingga kini menggambarkan betapa pentingnya nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh Kerajaan Aceh dulu, dan betapa kuatnya ikatan sosial yang mengikat masyarakat Aceh meski dalam perubahan zaman.
Tradisi ini tidak hanya berfungsi sebagai bentuk solidaritas, tetapi juga sebagai pengingat bahwa meskipun kita hidup dalam dunia yang serba modern, nilai-nilai tradisional yang mengutamakan kepedulian dan kebersamaan tetap relevan dan sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. []
*Penulis merupakan Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Al-Aziziyah Indonesia (UNISAI) Samalanga