
Aceh Barat – Kisah klasik tentang dua kakak-beradik yang terpisah selama 25 tahun di hutan Aceh Barat, akhirnya dipertemukan kembali berkat upaya seorang ulama dari Hindia, kini hidup kembali dalam pentas seni.
Hikayat Sidalupa yang mengisahkan perjalanan penuh liku-liku ini dipentaskan dengan megah oleh Hanafiah Sanggar Seni Datok Rimba (SSDR) di beberapa kesempatan, termasuk saat pergelaran Pekan Olahraga Nasional (PON) Aceh-Sumut 2024 lalu.
Penampilan ini bukan hanya menceritakan sebuah cerita lama, tetapi juga menjadi simbol upaya merawat dan melestarikan tradisi budaya Aceh.
Hikayat Sidalupa versi SSDR menggambarkan kisah dua anak laki-laki, Cho dan Choe, yang terpisah akibat kutukan ayah mereka, Tok Mancang, setelah kerbau pusaka keluarga hilang.
Mereka diusir dan tersesat di hutan. Salah satu dari mereka berjalan ke arah selatan, sementara yang lainnya ke arah barat. Dalam perjalanan panjang yang penuh penderitaan, tubuh mereka tertutup bulu lebat, menandakan bahwa waktu yang terpisah telah mengubah mereka menjadi sosok yang berbeda, baik fisik maupun perilaku.
Mereka kemudian bertarung dalam hutan, menimbulkan ketakutan di kalangan penduduk desa yang akhirnya mencari solusi atas fenomena aneh ini.
Babak kedua dalam hikayat ini mengisahkan pertemuan kembali kakak-beradik tersebut. Mereka yang telah berubah secara fisik dan perilaku disadarkan oleh seorang ulama dari Hindia.
Ulama ini bukan hanya berhasil mengalahkan mereka, tetapi juga menyadarkan mereka bahwa mereka adalah manusia, kakak dan adik yang telah terpisah selama bertahun-tahun.
Ulama tersebut memberi mereka nama Dalupa, yang berarti “kakak lupa adik, adik lupa kakak” dalam bahasa Aceh dan Indonesia.
Setelah sadar akan identitas mereka, Cho dan Choe dipertemukan kembali dengan ayah mereka, Tok Mancang. Keberadaan mereka yang misterius di hutan menginspirasi perubahan besar di desa.
Ulama tersebut juga memberikan nasehat kepada penduduk desa yang dulunya sering bermabuk-mabukan, mengajak mereka untuk memeluk agama Islam.
Masyarakat yang semula hidup dalam ketidaktahuan akhirnya bersyahadat, menandakan berakhirnya era kemabukan di desa tersebut. Hal ini juga menjadi bagian dari sejarah penyebaran Islam di Aceh yang tercatat dalam hikayat tersebut.
Kisah Sidalupa bukan sekadar cerita rakyat biasa, tetapi juga sebuah simbol nilai-nilai moral yang mendalam. Melalui rekonsiliasi antara kakak dan adik, kisah ini mencerminkan pentingnya persatuan, penyesalan, dan pengampunan.
Selain itu, cerita ini juga mengajarkan tentang pentingnya perdamaian yang dibawa oleh seorang ulama yang dengan bijaksana memberikan pengertian kepada mereka yang tersesat.
Tokoh Kabupaten Aceh Barat dari unsur pemerintah, Fauzi menjelaskan bahwa Sidalupa telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada tahun 2022.
Ia menjelaskan bahwa Sidalupa merupakan kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Aceh Barat, terutama di kecamatan Woyla Barat, Woyla, dan Bubon.
Nama Sidalupa merupakan gabungan dari nama dua tokoh utama dalam hikayat tersebut, Si Dal dan Upa, yang juga bisa diartikan dalam bahasa Aceh sebagai “kakak lupa adik, adik lupa kakak”.
Kisah Sidalupa, kata dia, juga dipentaskan saat Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) pada 2023 silam. Dengan dipentaskannya kembali Sidalupa, ini tidak hanya merayakan tradisi budaya Aceh yang kaya, tetapi juga mengingatkan semua akan pentingnya melestarikan kisah-kisah yang mengandung nilai-nilai luhur.

Menurutnya, sisah Sidalupa mencerminkan nilai-nilai penting seperti persatuan, penyesalan, dan rekonsiliasi. Ia mengajak semua pihak dapat belajar dari perjalanan Sidalupa dan upaya sang ulama dalam membawa perdamaian.
“Melalui penampilan ini, Sidalupa menjadi sarana penting untuk merawat dan meneruskan warisan budaya yang berharga bagi generasi mendatang,” pungkasnya. [ADV]