Banda Aceh – Wisata religi agaknya bukan barang baru bagi para pelancong. Tempat wisata semacam ini selalu menyimpan pesona dan karakteristik tertentu yang membuat para wisatawan rela mengeluarkan biaya mahal demi menunaikan hajat hati.
Mereka tidak hanya mencari objek wisata yang mampu memenuhi keindahan lahiriah saja, namun juga mendambakan tempat yang kuasa memberikan ketenangan batin dan dapat menambah wawasan spiritual.
Cerita ketokohan yang berkontribusi terhadap awal mula kegemilangan suatu tempat, berperan penting bagi para pelawat untuk memutuskan “saya harus ke sana, setidaknya sekali seumur hidup.”
Kota Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh saat ini pernah menjadi ibu kota pada masa Kesultanan Aceh Darussalam. Tempat berdirinya kerajaan yang menjunjung nilai-nilai keislaman dan mewariskannya hingga sekarang.
Pada abad ke-16 hingga ke-17, di bawah kepemimpinan seorang sultan, Banda Aceh sempat berjaya dan kemegahannya menyiarkan Islam sampai ke Asia Tenggara.
Oleh Sultan Iskandar Muda yang bertahta pada 1607-1636 membawa Kerajaan Aceh Darussalam masa lalu, memiliki wilayah separuh Pulau Sumatera dan Negeri Malaya.
Sultan yang juga dijuluki Perkasa Alam ini, berhasil membentuk Banda Aceh sebagai kota pelabuhan paling aktif, dengan beragam aktivitas perdagangan, sosial politik, budaya, dan pusat pendidikan tinggi agama yang terhimpun di Bandar Aceh Darussalam atau Banda Aceh sekarang.
Kerajaan Aceh Darussalam masa Sultan Iskandar Muda masuk dalam daftar lima kerajaan besar dunia yang konsen terhadap penyebaran Agama Islam. Setara dengan Baghdad, Damaskus, Agra, dan Isfahan. Belakangan sebagai pusat perdagangan, banyak pedagang dari Gujarat, Keling Arab, Jawa, Pegu (Birma) dan Tionghoa akhirnya tinggal berkelompok sesuai etnis masing-masing dan menetap di sana, yang menjadi cikal bakal munculnya perkampungan pendatang di Banda Aceh.
Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, Pada abad ke-18 hingga ke-19, periode kejayaan Kerajaan Islam di Banda Aceh berangsur mengalami kemunduran. Kota Banda Aceh kehilangan kekuatannya sebagai pusat perdagangan. Atas dasar itulah Belanda mulai mengincar Aceh. Mencari peluang untuk menguasai dan berusaha mendudukinya.
Pada tahun 1871, Belanda melakukan pejanjian dengan Inggris, yang dikenal dengan Traktat Sumatera, guna melancarkan upaya menguasai Aceh. Perjanjian tersebut dijadikan Belanda sebagai dasar untuk bebas bergerak, mengadakan perluasan wilayah di Aceh.
Lalu, pada 5 April 1873, Belanda melakukan serangan pertama terhadap Aceh dengan menggerakkan 3000 pasukan. Ekpedisi kedua Belanda dilancarkan pada 24 Januari 1874, yang menjadikan Keraton Darut Dunia di Banda Aceh berhasil direbut dan mengganti nama Banda Aceh dengan Kutaraja.
Kawasan makam itu terlihat sepi pengunjung. Meski area makam lengang, namun tidak mengurangi keagungannya di bawah sebuah bangunan yang dikelilingi pagar besi sepinggang orang dewasa.
Sebatang pohon rindang berusia ratusan tahun masih serta menyejukkan tempat itu. Dua meriam kuno yang mengapit bangunan secara tidak langsung, menunjukkan di sana bersemanyam seorang tokoh kunci kejayaan Aceh masa lalu. Di depannya terdapat prasasti bertuliskan Makam Sultan Iskandar Muda.
Dalam kompleks Makam Sultan Iskandar Muda, banyak terdapat situs cagar budaya dan peninggalan sejarah seperti gedung pemerintahan Hindia Belanda yang kini dikenal sebagai Gedung Perjuangan, alutista peninggalan kolonial serta makam raja-raja Aceh dan keluarganya.
Edi Rahman hampir dua tahun tidak pernah membawa tamu manca negara ke makam Sultan Iskandar Muda. Biasanya, berziarah ke sana, ia sajikan dalam satu paket dengan kunjungan ke Museum Aceh, Rumoh Aceh, dan makam Raja-Raja Aceh yang dapat dilalui sekali jalan. Edi cukup konsen dengan sejarah Kesultanan Aceh yang menurutnya penting diketahui oleh turis yang ia pandu.
“Wisata religi itu berbeda dengan wisata biasa. Tamu yang saya bawa setelah berkunjung ke Makam Sultan Iskandar Muda, dan mendengarkan kisah kejayaan Aceh abad silam di bawah Sultan Iskandar Muda, jadi makin tertarik dengan Sejarah Aceh,” kata Owner Barqun Tour Asia ini, beberapa waktu lalu.
Katanya, para wisatawan dari Malaysia jauh lebih tertarik dengan ziarah ke Makam Sultan Iskandar Muda, sebab punya keterikatan historis yaitu dengan Permaisuri Sultan Iskandar Muda, dari Pahang.
Ada sebuah Taman Sari Gunongan atau Taman Putroe Phang yang dulunya dibangun oleh Sultan Iskandar Muda untuk permaisurinya guna membuat sang putri bisa merasakan layaknya melihat gunung-gunung di negeri asal.
Beragam tanaman buah dan bunga serta kolam ikan ada di taman seluas 1000 depa itu. Tak kalah indah, taman itu seolah diciptakan layaknya penggambaran taman dalam kitab, dialiri sebuah sungai. Krueng Daroy. Taman itu terletak tak jauh dari komplek Makam Sultan Iskandar Muda saat ini dan masih bisa dinikmati siapa saja.
Selain itu Edi juga berusaha menjelaskan tentang pahatan atau zahkrafah yang ada di batu nisan. Menurutnya, seni hias itu juga penting diketahui pengunjung bahwa cerita ini bukan lagenda. Pahatan di nisan itu menunjukkan bukti autentik sejarah masa kejayaan Aceh masa lalu dan tidak bisa dipalsukan, layaknya peninggalan sejarah lainnya seperti candi-candi di Pulau Jawa.
“Makam Sultan Iskandar Muda pernah dihilangkan jejaknya oleh Belanda,” lanjut Edi.
Menurut Edi, meski jejak tersebut katanya telah ditemukan, yaitu makam Sultan Iskandar Muda yang sekarang telah dicanangkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah Indonesia, namun makam ini menurutnya sebuah replika, begitu agaknya yang disampaikan juga oleh Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA)
Untuk mengenang kebesaran dan jasa-jasa Sultan Iskandar Muda, Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 077/TK/Tahun 1993 tanggal 14 September 1993 telah mengangkat Sultan lskandar Muda sebagai Pahlawan Nasional. []
Reporter: Ariful Usman