Oleh: Muhammad Zikri
PRAKTIK korupsi di Indonesia telah menjadi masalah yang serius dan kompleks. Korupsi terjadi ketika individu yang memiliki kekuasaan atau akses terhadap sumber daya publik menyalahgunakan posisi mereka untuk memperoleh keuntungan pribadi secara ilegal. Termaktup dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi yaitu “Tindakan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara, suap-meyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, gratifikasi, dan tindakan lain yang mendukung terjadinya tindak atau perilaku korupsi” (Kemendikbud & KPK, 2012).
Praktik-praktik korupsi tersebut dapat merugikan negara dan masyarakat secara luas, menghambat pembangunan, merusak kepercayaan publik, dan mengurangi kesejahteraan rakyat. Memang, pemerintah Indonesia telah berupaya meningkatkan transparansi, memperkuat penegakan hukum, dan mengadopsi kebijakan anti-korupsi untuk melawan praktik korupsi dan menciptakan pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Namun, masih juga ditemukan praktik korupsi yang tinggi yang melibatkan pihak kekuasaan dan kepemerintahan.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan sepanjang tahun 2022 telah ditindak 579 kasus korupsi di Indonesia yang melibatkan 1.396 orang (DataIndonesia, 2023). ICW menambahkan total kerugian negara capai Rp42.727 T berdasarkan hasil pemantauan tren penindakan korupsi pada tahun 2022 (MetroTVNews, 2023). Ironisnya, pada tahun 2020 dan 2021 ditemukan nilai kerugian negara lebih besar dibandingkan tahun 2022. Nilai kerugian negara tahun 2020 Rp56.74 T, pada tahun 2021 naik 10.91% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp.62.93 T (DataIndonesia, 2022).
Oleh karena itu, korupsi merupakan penyakit yang harus segera ditangani dan disembuhkan demi kesejahteraan masyarakat banyak. Sebagai suatu peristiwa yang memilukan, korupsi disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berhubungan langsung dengan diri si pelaku seperti, sifat yang rakus, kurangnya akhlak dan moral, iman yang lemah, kebutuhan hidup, menuruti gaya hidup, dan lain sebagainya.
Sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh pihak luar seperti, faktor ekonomi, organisasi, politik, perilaku masyarakat yang apatis, dan hukum (Rosikah & Listianingsih, 2016). Dengan demikian, diperlukan kesadaran kolektif untuk mencegah terjadinya korupsi, hal tersebut dapat dimulai dari diri sendiri. Sebagai penunjang dasar, seseorang semestinya ditanam dan dididik nilai-nilai etika atau moral dan menjunjung tinggi nilai-nilai religiusitas.
Religiusitas mencakup keyakinan (belief) dan sikap (attitudes) individu terhadap ajaran agama yang mereka anut serta melibatkan praktik ritual (ritual practices), baik dalam kaitannya dengan hubungan antara individu dan Allah maupun hubungan dengan sesama makhluk. Tujuan dari religiusitas ini adalah untuk mencari makna kehidupan dan mencapai kebahagiaan (Suryadi & Hayat, 2021), tanpa mencurangi dan merugikan siapapun.
Bagi manusia, Muslim khususnya, religiusitas menjadi pondasi dasar sebagai way of life dalam menjalani kehidupannya yang penuh dengan nilai-nilai etika atau moral, adil, dan bijaksana serta sikap taat melaksankaan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Seseorang yang religius mengerti akan makna hablun min Allah, hubungan manusia dengan Allah dan hablun min an-nas, hubungan manusia dengan yang lainnya (Mastiyah, 2018). Sikap kesalehan tersebut menjadi benteng dari godaan hawa nafsu manusia (mujahadah an-Nafs), dalam hal ini praktik korupsi khususnya.
Religiusitas merupakan konstruk multidimensi. Glock dan Stark mengembangkan lima dimensi religiusitas, yaitu ideological (iman), ritualistic (ibadah), intellectual (ilmu), experiential (pengalaman), dan consequential (perilaku dan sikap yang muncul dari keyakinan) (Suryadi & Hayat, 2021).
Dimensi ideological mencakup keyakinan dan kepercayaan seseorang terhadap ajaran agamanya. Keyakinan dalam Islam disebut rukun Iman yang mana penganutnya mempercayai dan meyakini bahwa Allah mengetahui segala perbuatan hamba-Nya dan juga meyakini Malaikat-malaikat, kitab suci al-Qur’an, Nabi-nabi, hari kiamat dan Qada dan Qadar.
Dimensi ritualistic merupakan lima pilar agama Islam yang disebut rukun Islam. Dimensi ini menjelaskan kewajiban seseorang untuk beribadah kepada Allah dan juga ibadah lainnya yang berimplikasi pada hablun min an-nas. Dimensi intellectual ialah seseorang memiliki pemahaman dan pengetahuan terkait ajaran agama Islam, sumber pengetahuan Islam ialah al-Qur’an dan Hadist.
Dimensi experiential berfokus pada pengalaman iman dan ibadah seorang individu di mana ia merasa berinteraksi langsung dengan Allah. Dalam hal ini, seseorang tidak sebatas menjalankan dan mematuhi perintah dan larangan Allah, namun setiap individu merasakan penghayatan yang mendalam di setiap langkah yang ia kerjakan. Dan terakhir dimensi consequential, dimensi ini terdapat pengaruh positif dari nilai-nilai agama yang dianutnya dalam kehidupan sosialnya. Perilaku dan sikap seseorang menjadi bermoral yang tidak menyalahi hukum agama, hukum sosial dan hukum negara.
Manusia memiliki tiga sifat kepribadian menurut al-Ghazali, yaitu al-nafs al-ammara, al-nafs, al-lawwama, dan al-nafs al-mutma’inna. Jika seseorang dipenuhi oleh hasrat atau nafsu setan, dan perilaku buruk yang tidak mampu ia lawan disebut al-nafs al-ammara. Jika seseorang terjeremus dalam kebodohan yang dapat merugikan orang lain seperti halnya korupsi, kemudian ia merasa bersalah atas kebodohan yang ia lakukan disebut al-nafs al-lawwama. Akan tetapi, al-nafs al-mutma’inna merupakan seseorang yang mengerti akan firman dan ajaran Allah, ia tidak akan mampu diganggu oleh hawa nafsunya karena setiap sikap dan perilakunya dilakukan atas keridhaan Allah (Hanna-e-Kalbi & Basharat, 2020).
Oleh karena itu, dimensi religiusitas dalam diri seseorang dapat mengalahkan al-nafs al-ammara, ia mampu mengontrol dirinya untuk tidak terjeremus dalam praktik korupsi dan perilaku yang tidak bermoral. Hal tersebut diperkuat oleh Urumsah, dkk., (2016) yang mengungkapkan bahwa religiusitas dan spiritualitas dapat mencegah niat seseorang untuk melakukan kecurangan. Praktik korupsi merupakan perilaku buruk yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama.
Ajaran agama sebagai way of life semestinya menginspirasi munculnya jiwa integritas, kejujuran, dan keadilan. Perlu digarisbawahi bahwa setiap dimensi religiusitas harus berjalan berdampingan untuk menjadi seseorang yang religius, bermoral, berakhalak mulia, berintegritas dan bijaksana. Seorang Muslim yang beriman dan bertaqwa harus menjalankan perintah agama secara kaffah. Tidak diperkenankan hanya menguasai salah satu dari dimensi reliusitas, karena nantinya akan tidak seimbang dalam mengontrol diri.
Oleh karena itu, setelah seorang individu sadar akan pentingnya religiusitas sebagai kontrol dirinya (mujahadah an-nafs). Setiap manusia akan memiliki visi dan misi yang baik dalam kehidupannya. Mereka cenderung memikirkan kepentingan umat manusia dan menjauhkan sesuatu yang dapat merugikan diri sendiri, orang lain dan alam semesta.
Bagi penyelenggara negara, dalam pelaksanaan pemerintahan tidak terlepas dari kerja sama organisasi. Jika pemimpin-pemimpin pemerintahan, organisasi, partai, dan lain-lain memiliki religiusitas yang tinggi dan seimbang, maka negara Indonesia akan menjadi negara maju, makmur, sejahtera, adil dan beradap. Praktik korupsi akan hilang dengan sendirinya tanpa perlu lagi mempopulerkan slogan “Berani Jujur Hebat!”.
Muhammad Zikri merupakan mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalui muhammadzikri77@gmail.com.