Aceh Barat – Langit Aceh Barat terlihat hitam pekat pada Sabtu (11/2/2023) sore. Cut Afni lantas berpacu mengumpulkan ribuan tumbuhan eceng gondok yang sudah kering di sepetak lahan kosong di samping rumahnya Desa Kubu, Kec. Arongan Balek, Kab. Aceh Barat.
Usai dikumpulkan, tumbuhan eceng gondok itu kemudian diikat. Cut Afni lalu memanggul tumbuhan air tersebut ke tempat penyimpanan yang terletak di belakang rumahnya.
“Di sini, eceng gondok ini dikeringkan lagi, sebelum nanti dilakukan proses pembuatan produk dari bahan baku ini,” kata Cut Afni saat ditemui sudutberita.id di rumahnya, sekitar dua pekan lalu.
Sudah enam tahun lebih, Cut Afni menekuni bidang itu. Bersama suaminya, ia memanfaatkan eceng gondok sebagai bahan baku pembuatan kerajinan yang bernilai jual tinggi dengan merek EG Craft.
Kerajinan tersebut antara lain sofa, pot bunga, bingkai cermin, tas, kopiah, keranjang, meja, alas meja, tempat parfum, toples permen, dan aneka kebutuhan rumah tangga lainnya dengan harga mulai puluhan ribu hingga jutaan rupiah.
“Produk kita ini ramah lingkungan, kami memanfaatkan eceng gondok yang menutupi aliran sungai daerah sini hingga menjadi produk yang menghasilkan uang. Memang dari sampah menjadi berkah,” kata Cut Afni.
Kiprah Cut Afni menjadi perajin eceng gondok dimulai pada 2016 silam, saat ia bersama puluhan perempuan Aceh Barat lainnya dibina oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry melalui program Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM) Inovatif-Universitas Membangun Desa (UMD).
Program tersebut juga mendapat dukungan dari Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (KOMPAK). KOMPAK sendiri adalah lembaga yang didanai oleh Pemerintah Australia untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam mengurangi tingkat kemiskinan dan mengatasi kesenjangan di Tanah Air.
Saat itu, ada tiga desa yang mendapat binaan di program tersebut, yaitu Desa Peulante, Desa Kubu, dan Desa Cot Juru Mudi, Kecamatan Arongan Balek, Kabupaten Aceh Barat.
Program tersebut juga membentuk Kelompok Usaha Produksi (KUP) masyarakat yang mampu menghasilkan berbagai kerajinan berbahan dasar eceng gondok. Cut Afni adalah satu anggota kelompok tersebut.
“Jadi selama setahun kita diajarkan mulai pembentukan kelompok, pembuatan SOP sampai ke pemasaran,” ujar Cut Afni.
Setelah program tersebut berakhir pada pertengahan 2017, kelompok kerajinan ini terhenti dan anggotanya bubar. Cut Afni kemudian berinisiatif untuk melanjutkan keahlian yang telah diajarkan itu bersama suaminya secara mandiri, meski pemasaran masih terbatas.
“Kebetulan suami saya baru selesai ikut pelatihan di Jogya terkait kerajinan tangan, jadi ini kesempatan bagus untuk pengembangan usaha kami,” katanya.
EG Craft kemudian mencoba memperkenalkan produknya pada sebuah pameran di Sabang pada akhir 2017. Ini adalah kali pertama ia mengikuti pameran.
“Dalam setengah hari produk kami ludes, kami semakin semangat,” ujar Cut Afni.
Dari waktu ke waktu, EG Craft terus berinovasi dalam menghasilkan produknya. Satu tahun berselang, KOMPAK kembali lagi ke tiga desa tersebut untuk meninjau kondisi kelompok kerajinan yang dibangun pada 2016 silam.
KOMPAK juga hadir membuka jaringan pemasaran. Produk-produk yang dihasilkan EG Craft pun diminati oleh pasar lokal hingga nasional. Proses pengiriman dilakukan hampir ke seluruh penjuru Nusantara.
“Alhamdulillah kini EG Craft sudah miliki HAKI dan punya puluhan perajin, namun mereka bekerja di rumah masing-masing,” jelasnya.
Terkendala Produksi
Cut Afni menyebutkan bahwa produk EG Craft diminati oleh pasar luar negeri; Afrika Selatan dan Arab Saudi. Kedua negara ini menginginkan produk tersebut diekspor dalam jumlah yang banyak. Sayangnya, stok yang dihasilan EG Craft masih sangat terbatas.
“Afrika Selatan meminta 21 ribu pcs per 7 bulan dan Arab Saudi 2 kontainer per bulan, dan kami belum sanggup,” kata Cut Afni.
Kurangnya produk yang dihasilkan tak terlepas dari minimnya Sumber Daya Manusia (SDM) perajin anyaman eceng gondok di Aceh, khususnya Aceh Barat. Di sisi lain, hal ini juga disebabkan terbatasnya bahan baku eceng gondok itu sendiri.
“Kami berharap ke depannya bisa lah eskpor. Kami sekarang butuh pemasok bahan baku kering, karena selama ini kita perajin cari bahan baku sendiri, kita proses hingga anyaman,” harap Cut Afni.
Cut Afni berharap ke depan ada penyuplai bahan baku anyaman dari eceng gondok tersebut, sehingga para perajin bisa fokus dalam menghasilkan produknya.
“Jadi kita fokus mengeyam saja, artinya waktu kita tidak terbagi-bagi, jadi kami selama ini kalau sore cari bahan baku, paginya baru mengayam,” jelas Cut Afni.
Dalam kesempatan yang sama, Cut Afni juga berharap pemerintah hadir memberi solusi, agar produk tersebut bisa diekspor ke luar negeri.
“Pemerintah harus turun tangan, baru bisa itu, karena mereka punya kendali,” tutur Cut Afni.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Aceh, Almuniza Kamal yang juga mengunjungi tempat produksi tersebut, Minggu (12/2/2023) sepakat apa yang disampaikan Cut Afni.
Mantan Kepala Badan Penghubung Pemerintah Aceh (BPPA) itu menyadari bahwa potensi kerajinan eceng gondok di Tanah Rencong sangatlah besar, namun terkendala produksi.
Selain kurangnya SDM, tambah Almuniza, kendala produksi tersebut juga akibat mahalnya bahan baku, bahkan selisihnya sangat jauh berbeda dengan di daerah-daerah lain.
“Kita selalu tidak bisa bersaing di biaya produksi, dan kendala kita saat permintaan produksi banyak, kita tidak sanggup. Nah, ini menjadi tantangan perajin dan tentu upaya pemerintah lah, kita cari solusi sama-sama,” ucap Almuniza. []